Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Selingkuh Hati Malaikat Tampan] Yang Kutahu Cinta itu Indah

17 September 2018   06:00 Diperbarui: 17 September 2018   06:11 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tubuh Silvi serasa membeku. Air matanya jatuh ke lantai marmer. Ia terduduk, memeluk lutut.

Pundaknya berguncang menahan isak. Telah zalimkah ia? Ataukah justru Calvin yang menzhaliminya? Entahlah, semuanya terasa kabur dan menakutkan.

Sungguh, Silvi tak percaya. Foto-foto yang tersimpan di iPadnya bukanlah rekayasa. Kiriman Revan tadi pagi lewat aplikasi chatting. Revan mendapatkannya dari seseorang yang mengaku jurnalis media daring. Hatinya menolak percaya. Namun, inilah realita.

Calvin, malaikat tampan bermata sipitnya, telah mendua. Tega sekali ia menduakan cinta Silvi. Terkhianati? Itulah yang Silvi rasakan. Terluka? Sangat dalam.

Mengapa segalanya serumit ini? Dengan mudah, Silvi mendapat informasi siapa Calisa Karima. Wanita yang telah membuat malaikat tampannya berpaling. Silvi bahkan pernah mendatangi cake shopnya. Hatinya hancur, hancur dengan kabar perselingkuhan Calvin.

Allah memberi petunjuk melalui mata hati. Feeling Silvi mengatakan, ikatan emosionalnya dengan Calvin kian merenggang. Nyatanya, Calvin tengah membangun hubungan emosional baru.

Benar kata psikolog dan konseling pernikahan. Seseorang tak bisa membangun hubungan emosional yang kuat dengan dua orang sekaligus. Salah satu ikatan pasti akan mengendur.

Tidak, ini tak bisa dibiarkan. Pelan-pelan, Silvi bangkit. Terhuyung melangkah ke kamarnya. Memilih-milih dress di built-in-clothes. Tak boleh ada dress hitam dan make up pucat lagi. Pilihannya jatuh pada dress selutut berwarna magenta. Dikenakannya dress mahal pemberian Calvin itu.

Sejurus kemudian, Silvi ke kamar mandi pribadinya. Bercermin, mengusap bekas air mata. Disapukannya bedak ke wajah. Sedikit pemerah pipi ia sentuhkan untuk mengurangi rona pucat. Lipstick lamanya ia hapus, ia ganti dengan warna yang lebih cerah.

Mengabaikan eye liner di kotak make upnya, Silvi membanting tutup kotak itu. Calvin selalu lupa kalau istrinya tak pernah mau memakai make up mata. Bagi Silvi, mata biru jauh lebih indah.

Selesai bermake up, Silvi keluar kamar. Tak lupa mematikan AC dan menutup pintu. Keenam asisten rumah tangga dan ketiga supir melayangkan tatapan heran. Setelah lewat setahun, ini hari pertama Nyonya rumah tampil lebih cerah.

"Tak usah menatap saya begitu. Ada yang bisa antar saya ke kantor?" Silvi menanyai ketiga supirnya.

Ketiganya mengangguk tanpa kata. Kurang dari sepuluh menit, Silvi meninggalkan rumah besar di lereng bukit dengan Bugatti Veyron hitam.

Perjalanan itu dilewati Silvi dengan membaca artikel-artikel terbaru Calvin. Ah, sudah lama sekali ia tak mengagumi bakat menulis suaminya. Mungkin ini salah satu sebab Calvin berselingkuh hati: kurang perhatian, kehilangan kehangatan Silvi. Tetap sama, pikir Silvi kagum. Ulasan-ulasan ekonomi, bisnis, dan renungan humaniora yang menyentuh. Sangat khas Calvin Wan.

Satu jam berselang, Silvi tiba di kantor. Kantor pusat jaringan supermarket yang dimiliki Calvin. Di sinilah tempat pengendalian distribusi barang, evaluasi, pelaporan, dan pengajuan produk dari pengusaha lokal yang ingin produknya dipasarkan di jaringan supermarket. Kantor pusat itu letaknya bersebelahan dengan salah satu gerai.

Benar, Calvin ada di sana. Silvi dapat melihat BMW putihnya di area parkir khusus direksi. Beberapa karyawan gerai yang kebagian shift siang menyapanya hormat. Silvi melangkah anggun memasuki kantor.

Suasananya tak berubah. Terakhir kali Silvi datang ke sini setahun yang lalu. Terlihat resepsionis melayani seorang tamu yang ingin mengajukan produk makanan organik untuk dijual di gerai. Satu-dua kali deringan telepon terdengar. Ruangan sebelah digunakan untuk pematerian calon-calon pegawai baru yang sedang menjalani masa training. Kesibukan yang sangat biasa.

Kata sekretarisnya, Calvin tak ada di ruangan. Ternyata ia di gerai. Cepat-cepat Silvi berjalan ke gedung di samping kantor. Melewati kerumunan orang yang menyemut di halaman supermarket, mencari tempat parkir.

Awal bulan begini, supermarket sedang ramai-ramainya. Jaringan supermarket ini memang menyasar 40% konsumen kelas atas. Namun, tak berarti diskriminatif pada konsumen menengah ke bawah. Semuanya diperlakukan sama. Sebab customer adalah raja.

Sepasang mata biru Silvi bergulir ke sekitar area supermarket. Tengah sibuk mencari Calvin, atensinya teralih oleh sesosok pria tua keriput berperut gendut yang berlari masuk sambil menangis. Pria tua itu hanya mengenakan kemeja putih polos dan celana bahan tak bermerk. Terlihat ia menghampiri pria lain yang tiga puluh tahun lebih muda darinya. Pria muda berjas dan bermata sipit itu menenangkan lelaki tua dengan sabar. Sangat hormat dan penuh kasih sayang pada lansia.

"Calvin...?" desah Silvi.

Soal sifat penyayang Calvin, Silvi sudah lama tahu. Namun, menyentuh sekali ketika melihatnya menampakkan sisi penyayang pada orang lain. Terlebih, orang yang sudah sangat tua dan sederhana. Silvi terus memperhatikan dari tempatnya berdiri.

"...Padahal aku hanya keluar sebentar! Lalu uangku hilang! Itu uang pensiunku satu-satunya, biaya hidupku untuk sebulan!" ratap lelaki tua itu menyesali kecerobohannya.

"Iya, saya mengerti...Bapak tidak usah khawatir. Tenang ya? Tunggu sebentar..."

Calvin bergerak ke meja kasir. Memberikan tanda lunas pada barang-barang belanjaan lelaki tua itu. Menyerahkan kantong belanjaan dan berkata, "Kalau Bapak butuh sesuatu, ambil saja di sini. Gratis. Dan ini..."

Lebih dari sekedar belanjaan. Calvin pun memberi sejumlah uang pada pensiunan malang itu.

Silvi menatapi adegan itu dengan trenyuh. Ya, Allah, malaikatnya tetap penuh cinta. Murah hati, selalu menolong orang tanpa ragu. Makin kaya, Calvin makin dermawan.

Tak lama, pensiunan ASN itu pergi. Perlahan Calvin melepas kacamatanya. Membersihkan, lalu memakainya lagi. Saat itulah ia bertemu pandang dengan Silvi.

Jangan bilang minusnya bertambah parah. Mana mungkin Silvi datang? Tanpa dress hitam dan make up pucat pula. Pasti ia salah lihat.

Selamat untuk Calvin, minusnya belum menyentuh angka 6. Penglihatannya benar. Silvi menghampirinya. Dalam gerakan slow motion, wanita cantik itu memeluknya. Calvin dan Silvi berpelukan. Diiringi tatapan kagum campur iri para karyawan dan pengunjung supermarket.

**     

Luka menganga di hati Silvi. Berhadapan dengan Calvin, pedih itu menyerbu lagi. Dua kali lipat lebih sakit. Melihat sosok Calvin sama saja melihat kenyataan selingkuh hati yang dilakukannya.

"Silvi, kamu kenapa?" tanya Calvin lembut.

Kelembutan itu, sungguh menyakitkan. Seperti kepalsuan. Mengapa Calvin tetap lembut padanya sementara ia sedang berselingkuh hati? Munafik, pikir Silvi geram.

"Jangan pergi..."

Tetiba, Silvi menangis. Awan-awan di matanya memburai jadi hujan. Ia menyandarkan kepalanya ke dada Calvin. Dengan lembut, Calvin menenangkannya.

"Aku tidak akan pergi, Silvi...kecuali kalau sudah dipanggil malaikat maut."

"Jangan tinggalkan aku. Jangan beralih ke perempuan lain."

Tenggorokan Calvin tercekat. Perkataan Silvi bagai isyarat. Perubahan drastis sikap Silvi, dan perkataannya, tidakkah meninggalkan tanda yang melekat?

Suhu ruangan direktur itu terasa lebih dingin. Bukan karena AC, tetapi karena kekalutan. Tanpa kata lagi, Calvin meraih lembut tangan Silvi. Menuntunnya ke depan grand piano. Ruangan direktur satu ini memang beda. Piano menjadi kemewahan yang membedakannya.

Mengikuti intuisi, jemari lentik Silvi bermain di atas tuts hitam-putih. Calvin langsung familiar begitu mendengar intronya. Bar pertama dinyanyikan Silvi.


Tak pernah aku membayangkannya

Bila insan sedang patah hati

Kali ini kurasakan yang sesungguhnya...

Calvin terenyak. Mengapa istrinya seperti sungguh-sungguh patah hati? Pasti ini bukan penghayatan musik semata. Dengan suara bassnya yang lembut, Calvin melanjutkan.

Siang hariku bagaikan malam

Pelangi pun berwarnakan kelam

Inikah yang dinamakan patah hati... (Afgan ft Nagita Slavina-Yang Kutahu Cinta Itu Indah).

Hati Calvin tak tenang. Sikap manis Silvi justru menekannya. Perasaan tertekan itu membuat tubuhnya melemah.

Tes.

Setetes darah jatuh dari hidung Calvin. Makin lama, tetesan darah makin banyak. Tanpa diminta, Silvi membantu Calvin membersihkan darahnya.

"Aku mengkhawatirkanmu, Calvin."

Kekhawatiran terpancar dalam di mata Silvi. Calvin seolah melihat Silvi yang dulu. Silvi yang lembut, penuh perhatian, baik hati, sabar, dan anggun. Silvi yang telah lepas dari luka-luka masa lalu.

**    

Akhir pekan yang sejuk, namun sedikit berkabut. Pagi-pagi sekali, Calvin dan Silvi pergi ke bagian utara kota. Villa putih di puncak bukit, destinasi mereka.

Mobil meluncur ke atas bukit. Calvin masih kuat menyetir sendiri walau kesehatannya terganggu. Silvi duduk di sisinya, lama sekali tak sedekat ini. Satu setengah jam mereka nikmati perjalanan.

"Papa-Vin...!"

Thalita dan Carol berlari menyambutnya. Stevent menggerakkan kursi roda otomatis, berusaha mendekat. Calvin lebih memprioritaskan Stevent. Diangkatnya anak istimewa itu, dipeluknya erat-erat. Setelah itu, barulah ia merengkuh dua keponakan cantik.

"Miss you," Carol mendesah.

"Miss you too, Dear."

Dari dalam villa, keluarlah Revan bersama Dokter Tian dan suster yang masih cantik walau sudah berumur. Mereka biasa memanggilnya Suster Adinda. Revan, Dokter Tian, dan Suster Adindalah yang merawat tiga keponakan Calvin tiap harinya. Hanya merekalah yang bisa.

Revan memutuskan hidup tanpa menikah. Kini ia fokus mengajar, mengelola cafe, dan mengasuh tiga keponakan. Sejak bercerai, Dokter Tian trauma menikah lagi. Selain mengobati pasien dan menulis puisi, dokter satu ini membantu Revan mengasuh tiga keponakan Calvin. Suster Adinda mantan biarawati. Setelah lepas jubah, ia tetap selibat. Mulanya, Suster Adinda bekerja untuk ayah Calvin, Tuan Effendi. Namun, Calvin memintanya membantu mengasuh Carol, Thalita, dan Stevent setelah ibu mereka meninggal.

"Papa-Vin, Stevent mau cerita." Stevent berkata manja, mata sipitnya memancarkan luka.

"Cerita apa, Sayang? Papa-Vin dengarkan..."

Duduk di pangkuan Calvin, Stevent pun bercerita. Ia mengisahkan pengalaman tidak menyenangkan di sekolah barunya. Stevent menjalani sekolah inklusi. Praktis, ia belajar bersama anak-anak normal. Ada teman yang baik, ada yang tidak. Mereka yang jahat itu sering membully Stevent. Mulai dari mengejeknya, menyembunyikan alat tulis, sampai melukai secara fisik. Calvin melihat kesedihan di mata anak itu. Lembut dibelainya kepala Stevent.

"Jangan sedih, Sayang...Stevent punya banyak kelebihan. Dari pada membalas, Stevent doakan mereka saja. Doakan biar mereka sayang sama Stevent." nasihat Calvin.

"Stevent nggak berguna, Papa-Vin..."

"Siapa bilang? Papa-Vin butuh Stevent tetap di sini kok...artinya Stevent berguna. Makanya, Stevent harus tetap semangat. Nggak boleh putus asa. Minta sama Allah, biar mereka yang bully itu sayang sama Stevent."

Kesedihan di wajah anak pintar itu berangsur hilang. Dia kembali tersenyum. Langit seputih mutiara seakan ikut bahagia.

Weekend itu mereka tak kemana-mana. Cukup melakukan aktivitas di villa, karena udara sangat dingin. Calvin menemani Thalita dan Carol bermain piano. Dokter Tian mengajari Stevent menulis puisi. Suster Adinda memasakkan banyak makanan lezat untuk mereka. Silvi lebih banyak bersama Revan.

Kakak-beradik bermata biru itu memperhatikan Calvin dengan sedih. Calvin bermain dan bercengkerama dengan anak-anak dengan ceria, tanpa beban. Seolah tak ada sesuatu yang disembunyikan. Sesungguhnya, Silvi dan Revan sudah lama tahu.

Marah pada Calvin, Revan tak tega. Calvin tetaplah sahabatnya. Tapi, selingkuh hati tak bisa dibiarkan.

Tanpa disadari, Calvin menekan kegelisahannya dalam-dalam. Jiwanya dikepung penyesalan. Di sela quality time dengan tiga keponakan, Calvin mengontak Calisa. Ia ungkapkan keresahannya.

"Cobalah pergi umrah. Benar atau salah, kamu akan temukan jawabannya di sana."

Di luar dugaan, jawaban wanita keduanya begitu religius. Siapakah sebenarnya Calisa? Mengapa penampilannya seksi tetapi hatinya Islami? Lebih jauh berkomunikasi, ternyata Calisa sudah biasa umrah sejak kecil. Ia selalu diajak ayahnya ke tanah suci.

Ada notifikasi dari grup blogger. Ketika dibuka, isinya berita terhangat lagi.

"Putri Ustadz Saleh diduga berselingkuh dengan pengusaha. Ia menolak pulang ke rumahnya."

**     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun