Akhir pekan yang sejuk, namun sedikit berkabut. Pagi-pagi sekali, Calvin dan Silvi pergi ke bagian utara kota. Villa putih di puncak bukit, destinasi mereka.
Mobil meluncur ke atas bukit. Calvin masih kuat menyetir sendiri walau kesehatannya terganggu. Silvi duduk di sisinya, lama sekali tak sedekat ini. Satu setengah jam mereka nikmati perjalanan.
"Papa-Vin...!"
Thalita dan Carol berlari menyambutnya. Stevent menggerakkan kursi roda otomatis, berusaha mendekat. Calvin lebih memprioritaskan Stevent. Diangkatnya anak istimewa itu, dipeluknya erat-erat. Setelah itu, barulah ia merengkuh dua keponakan cantik.
"Miss you," Carol mendesah.
"Miss you too, Dear."
Dari dalam villa, keluarlah Revan bersama Dokter Tian dan suster yang masih cantik walau sudah berumur. Mereka biasa memanggilnya Suster Adinda. Revan, Dokter Tian, dan Suster Adindalah yang merawat tiga keponakan Calvin tiap harinya. Hanya merekalah yang bisa.
Revan memutuskan hidup tanpa menikah. Kini ia fokus mengajar, mengelola cafe, dan mengasuh tiga keponakan. Sejak bercerai, Dokter Tian trauma menikah lagi. Selain mengobati pasien dan menulis puisi, dokter satu ini membantu Revan mengasuh tiga keponakan Calvin. Suster Adinda mantan biarawati. Setelah lepas jubah, ia tetap selibat. Mulanya, Suster Adinda bekerja untuk ayah Calvin, Tuan Effendi. Namun, Calvin memintanya membantu mengasuh Carol, Thalita, dan Stevent setelah ibu mereka meninggal.
"Papa-Vin, Stevent mau cerita." Stevent berkata manja, mata sipitnya memancarkan luka.
"Cerita apa, Sayang? Papa-Vin dengarkan..."
Duduk di pangkuan Calvin, Stevent pun bercerita. Ia mengisahkan pengalaman tidak menyenangkan di sekolah barunya. Stevent menjalani sekolah inklusi. Praktis, ia belajar bersama anak-anak normal. Ada teman yang baik, ada yang tidak. Mereka yang jahat itu sering membully Stevent. Mulai dari mengejeknya, menyembunyikan alat tulis, sampai melukai secara fisik. Calvin melihat kesedihan di mata anak itu. Lembut dibelainya kepala Stevent.