"Jangan sedih, Sayang...Stevent punya banyak kelebihan. Dari pada membalas, Stevent doakan mereka saja. Doakan biar mereka sayang sama Stevent." nasihat Calvin.
"Stevent nggak berguna, Papa-Vin..."
"Siapa bilang? Papa-Vin butuh Stevent tetap di sini kok...artinya Stevent berguna. Makanya, Stevent harus tetap semangat. Nggak boleh putus asa. Minta sama Allah, biar mereka yang bully itu sayang sama Stevent."
Kesedihan di wajah anak pintar itu berangsur hilang. Dia kembali tersenyum. Langit seputih mutiara seakan ikut bahagia.
Weekend itu mereka tak kemana-mana. Cukup melakukan aktivitas di villa, karena udara sangat dingin. Calvin menemani Thalita dan Carol bermain piano. Dokter Tian mengajari Stevent menulis puisi. Suster Adinda memasakkan banyak makanan lezat untuk mereka. Silvi lebih banyak bersama Revan.
Kakak-beradik bermata biru itu memperhatikan Calvin dengan sedih. Calvin bermain dan bercengkerama dengan anak-anak dengan ceria, tanpa beban. Seolah tak ada sesuatu yang disembunyikan. Sesungguhnya, Silvi dan Revan sudah lama tahu.
Marah pada Calvin, Revan tak tega. Calvin tetaplah sahabatnya. Tapi, selingkuh hati tak bisa dibiarkan.
Tanpa disadari, Calvin menekan kegelisahannya dalam-dalam. Jiwanya dikepung penyesalan. Di sela quality time dengan tiga keponakan, Calvin mengontak Calisa. Ia ungkapkan keresahannya.
"Cobalah pergi umrah. Benar atau salah, kamu akan temukan jawabannya di sana."
Di luar dugaan, jawaban wanita keduanya begitu religius. Siapakah sebenarnya Calisa? Mengapa penampilannya seksi tetapi hatinya Islami? Lebih jauh berkomunikasi, ternyata Calisa sudah biasa umrah sejak kecil. Ia selalu diajak ayahnya ke tanah suci.
Ada notifikasi dari grup blogger. Ketika dibuka, isinya berita terhangat lagi.