Kelembutan itu, sungguh menyakitkan. Seperti kepalsuan. Mengapa Calvin tetap lembut padanya sementara ia sedang berselingkuh hati? Munafik, pikir Silvi geram.
"Jangan pergi..."
Tetiba, Silvi menangis. Awan-awan di matanya memburai jadi hujan. Ia menyandarkan kepalanya ke dada Calvin. Dengan lembut, Calvin menenangkannya.
"Aku tidak akan pergi, Silvi...kecuali kalau sudah dipanggil malaikat maut."
"Jangan tinggalkan aku. Jangan beralih ke perempuan lain."
Tenggorokan Calvin tercekat. Perkataan Silvi bagai isyarat. Perubahan drastis sikap Silvi, dan perkataannya, tidakkah meninggalkan tanda yang melekat?
Suhu ruangan direktur itu terasa lebih dingin. Bukan karena AC, tetapi karena kekalutan. Tanpa kata lagi, Calvin meraih lembut tangan Silvi. Menuntunnya ke depan grand piano. Ruangan direktur satu ini memang beda. Piano menjadi kemewahan yang membedakannya.
Mengikuti intuisi, jemari lentik Silvi bermain di atas tuts hitam-putih. Calvin langsung familiar begitu mendengar intronya. Bar pertama dinyanyikan Silvi.
Tak pernah aku membayangkannya
Bila insan sedang patah hati