Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Selingkuh Hati Malaikat Tampan] Yang Kutahu Cinta itu Indah

17 September 2018   06:00 Diperbarui: 17 September 2018   06:11 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir pekan yang sejuk, namun sedikit berkabut. Pagi-pagi sekali, Calvin dan Silvi pergi ke bagian utara kota. Villa putih di puncak bukit, destinasi mereka.

Mobil meluncur ke atas bukit. Calvin masih kuat menyetir sendiri walau kesehatannya terganggu. Silvi duduk di sisinya, lama sekali tak sedekat ini. Satu setengah jam mereka nikmati perjalanan.

"Papa-Vin...!"

Thalita dan Carol berlari menyambutnya. Stevent menggerakkan kursi roda otomatis, berusaha mendekat. Calvin lebih memprioritaskan Stevent. Diangkatnya anak istimewa itu, dipeluknya erat-erat. Setelah itu, barulah ia merengkuh dua keponakan cantik.

"Miss you," Carol mendesah.

"Miss you too, Dear."

Dari dalam villa, keluarlah Revan bersama Dokter Tian dan suster yang masih cantik walau sudah berumur. Mereka biasa memanggilnya Suster Adinda. Revan, Dokter Tian, dan Suster Adindalah yang merawat tiga keponakan Calvin tiap harinya. Hanya merekalah yang bisa.

Revan memutuskan hidup tanpa menikah. Kini ia fokus mengajar, mengelola cafe, dan mengasuh tiga keponakan. Sejak bercerai, Dokter Tian trauma menikah lagi. Selain mengobati pasien dan menulis puisi, dokter satu ini membantu Revan mengasuh tiga keponakan Calvin. Suster Adinda mantan biarawati. Setelah lepas jubah, ia tetap selibat. Mulanya, Suster Adinda bekerja untuk ayah Calvin, Tuan Effendi. Namun, Calvin memintanya membantu mengasuh Carol, Thalita, dan Stevent setelah ibu mereka meninggal.

"Papa-Vin, Stevent mau cerita." Stevent berkata manja, mata sipitnya memancarkan luka.

"Cerita apa, Sayang? Papa-Vin dengarkan..."

Duduk di pangkuan Calvin, Stevent pun bercerita. Ia mengisahkan pengalaman tidak menyenangkan di sekolah barunya. Stevent menjalani sekolah inklusi. Praktis, ia belajar bersama anak-anak normal. Ada teman yang baik, ada yang tidak. Mereka yang jahat itu sering membully Stevent. Mulai dari mengejeknya, menyembunyikan alat tulis, sampai melukai secara fisik. Calvin melihat kesedihan di mata anak itu. Lembut dibelainya kepala Stevent.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun