Calvin menyerahkan ratusan ribu yang masih licin dan baru. Lalu bergegas pergi. Mengabaikan seruan si penjual balon yang ingin memberikan uang kembali. Uang kembali mungkin dipermasalahkan orang lain, tetapi Calvin Wan tidak. Biar saja uang kembali jadi rezeki pedagang balon.
Setengah berlari, dia kembali ke rumah Calisa. Blogger super tampan itu menaruh balon, berdekatan dengan bunga mawar dan kartu. Posisinya masih sama. Berarti, Calisa belum melihatnya.
"Nah, ketahuan. Mas ganteng yang tulisannya rapi mau modusin yang punya rumah ini ya?"
Ah, penjual balon ini lagi. Mau apa pula dia mengikuti Calvin?
"Nggak kok. Memangnya nggak boleh ya, kasih bunga dan balon buat perempuan?"
"Boleh sih. Tapi kan aneh kalo nggak ada apa-apa. Apa lagi Masnya ganteng banget."
Calvin hanya menanggapi dengan senyuman. Sudah biasa dipuji tampan. Di kantor, di jalan, di masjid, di rumah, di catwalk, di cafe, selalu saja begitu.
"Awas lho, Mas. Kalo masih jomblo sih nggak apa-apa. Tapi kalo udah ada yang punya..."
Seperti tamparan di hati Calvin. Tamparan ekstra keras dari seseorang yang tingkat ekonominya jauh di bawah. Sudah keterlaluankah dirinya? Malaikat tampan bermata sipit malah menulisi pesan cinta untuk wanita lain. Bukan wanita yang namanya tertera di cincin dan buku nikahnya.
** Â Â Â