Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malaikat di Unit Hemodialisa

7 September 2018   06:00 Diperbarui: 7 September 2018   06:39 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia tak banyak bicara. Meski begitu, sepasang mata sipit beningnya tetap menyimpan cerita. Cerita hati tentang kekhawatiran.

Berulang kali, tangan putih dan kurus itu menyentuh pelan selang oksigen yang terpasang di hidung. Tak nyaman dengan peralatan medis yang harus dipakainya. Ah, ini berat, sangat berat.

“Kenapa harus selang oksigen? Sakitku sudah separah itukah?”

Kata protes terlontar keluar. Ditingkahi ekspresi letih menghiasi wajah tampannya.

Pemuda tampan berambut pirang dan bermata biru menjawab sabar. “Kan Dokter Tian bilang sendiri, saturasi oksigen di tubuhmu sangat rendah.”

Pemuda oriental yang terbaring di ranjang putih itu menatap hampa langit-langit. Tangan kanannya terkepal. Memperlihatkan jari-jari panjang, lentik, namun sangat kurus.

“Nah, selesai. Time to go...”

“Wait.”

“Ada apa lagi, Calvin?”

“Aku ingin bernyanyi dan main piano sebelum hemodialisa, Revan.”

Mudah, sangat mudah menurutinya. Apa barang pribadi Calvin yang tak ada di kamar VIP super mewah dan lengkap ini? Revan menghela nafas sabar. Setelah menyeka bersih dan menggantikan pakaian, menemani sahabat istimewanya main piano sebelum cuci darah tak masalah.

Dengan gerakan cepat tetapi lembut, Revan mengangkat tubuh Calvin. Mendudukkannya di kursi roda. Pelan mendorong kursi roda ke depan grand piano.

Belum sempat Calvin menarikan jemarinya di atas bidang hitam-putih itu, pintu ruang rawat terbuka. Silvi, Calisa, Anton, Albert, dan Rossie tergesa melangkah masuk. Mata Silvi berbinar bahagia begitu tahu apa yang akan dilakukan Calvin.

“Thank you Allah, kami belum terlambat.” desah Rossie.

“Mau main piano ya? Ayo mulai, biar kita semua yang nyanyi.” Silvi menyemangati.

Piano berdenting lembut. Melentingkan melodi-melodi indah.

Ada yang berbeda hari ini

Saat kusadari ku tak sendiri

Bersamamu kasih

Indahnya tak sekedar kata cinta

Maaf bila ku tak selalu berada di sisimu

Namun kita

Kan selalu bersama

Lewati semua berdua bersama

Kan selalu bersama

Lewati semua berdua bersama (Calvin Jeremy-Selalu Bersama).


Suara bass Calvin yang lembut dan empuk. Suara barithon Anton, Albert, dan Revan yang merdu. Suara sopran Silvi, Calisa, dan Rossie yang halus menenangkan. Berpadu indah menyanyikan lirik demi lirik.

"Kita bukan hanya berdua kok, tapi bertujuh...dan kita selalu bersama." kata Revan usai bernyanyi.

Sontak Silvi menjitak kepala sepupunya. "Berdelapan tauuuu. Julia mau kamu kemanain?"

"Oh iya, Nona Cantik. Dimana dia ya?" Bukannya Revan, malah Albert yang cepat connect dengan absennya Julia.

Langsung saja keenam sahabat lainnya melontarkan godaan. Menggoda lantaran Albert menanyakan ketidakhadiran partner bertengkarnya.

**    

Blogger dan pewaris perusahaan retail setampan Calvin Wan pun bisa hopeless juga. Tak henti diedarkannya pandang ke sekeliling unit hemodialisa. Sebuah ruangan luas penuh dengan bed-bed yang dilengkapi hemodialisis. Ruangan itu sangat dingin, AC di-set dengan suhu cukup rendah. Aroma darah tercium tajam.

Sebagian tempat tidur terisi. Terlihat Dokter Tian, ayah angkat Albert itu, tengah melakukan bed-side examination ke tempat tidur paling ujung. Tempat tidur dekat pintu tersebut ditempati seorang anak lelaki berkulit hitam. Satu tangannya memegang buku pelajaran.

"Selamat ulang tahun, Adik Kecil..." Dokter Tian melempar ucapan, merangkul dan mencium pipi pasien kecilnya.

Seraut wajah legam itu mengguratkan senyum. Senyuman sangat tipis. Menyenangkan rasanya melihat anak kecil tersenyum. Calvin tahu, jarang sekali senyuman terpeta di wajah si pasien kecil.

"Wow, Papamu masih penyayang anak-anak juga ya. Padahal anaknya udah besar, tengilnya setengah mati." komentar Anton, melirik Albert.

"Iya dong, Papa Tian!" kata Albert bangga, sengaja mengeraskan volume suaranya saat memuji. Sukses mengundang tatapan-tatapan pasien hemodialisa lainnya.

Dokter Tian tersenyum sekilas pada Albert, Calvin, dan teman-temannya. Lalu bergerak ke tempat tidur berikutnya.

Lagi-lagi, Calvin mengawasi dari manik mata. Lekat ia perhatikan ketika Dokter Tian menghadapi pasien berumur 35 tahun dengan kaki bengkak. Pasien itu sangat mengesalkan. Ia bertanya-tanya kapan ia akan sembuh. Mengapa ia harus cuci darah terus.

"Maaf Pak, saya jelaskan lagi ya. Hemodialisa itu tidak untuk menyembuhkan, tapi untuk mempertahankan hidup. Hemodialisa adalah satu di antara tiga pilihan: CAPD, transplantasi, dan hemodialisa..."

Tak cukup sampai di situ. Dokter yang telah mengadopsi dan merawat Albert sejak lahir itu mengambil selembar kertas HVS. Menggambar organ ginjal, menjelaskan semuanya dengan bantuan gambar. Edukasi panjang untuk pasien. Kesabaran teruji.

"Ayahmu luar biasa..." Calvin memuji dengan tulus.

Saat itulah ia teringat Tuan Effendi. Papanya pun tak kalah istimewa. Sayangnya, sang Papa kini tak di sampingnya. Silvi membaca pikiran Calvin. Digenggamnya tangan laki-laki yang sangat dicintainya, berbisik lembut.

"Mau kutelepon Uncle Effendi dan Auntie Rose? Kurasa, sudah saatnya mereka tahu."

Calvin menggeleng kuat. Tidak, tidak seharusnya Mama-Papanya tahu. Baru beberapa bulan mereka rujuk. Ironis sekali bila kebahagiaan itu dirusak dengan berita sakitnya Calvin.

"Sampai kapan kamu mau merahasiakannya, Calvin?" tanya Calisa lelah.

"Mungkin selamanya," sahut Calvin lirih.

"Aku tak tega jika..."

"Sorry Calvin, aku telat. Sorry semuanya."

Julia bergegas masuk ke unit hemodialisa. Ia sedikit terengah. Rambut panjangnya agak berantakan. Namun, sosoknya tetap cantik dalam balutan mini wrap dress bermodel tube top warna merah darah.

"No problem...terima kasih mau menemaniku hemodialisa, Julia." kata Calvin lembut.

Tak tahan diam berlama-lama, Albert menginjak kaki Julia. Nyaris saja gadis blasteran Sunda-Jawa-Belanda itu berteriak andai tak ingat dimana dia berada.

"Dari mana aja sih? Telat kok kelewatan!" sergah Albert mencari penyakit.

"Hei, calon dokter bule! Aku kan harus rawat Papaku yang kena penyakit jantung?! Kamu lupa?!" bentak Julia dalam bisikan.

Albert menyeringai kecil. Ia lupa, benar-benar lupa. Mengabaikan permintaan maaf diiringi tawa malu-malu Albert, Julia bergeser ke dekat ranjang. Menatap lekat mata Calvin.

"Calvin, kamu pasti sembuh. Dan kamu takkan sendiri. Semester ini aku juga cuti, sama sepertimu. Aku akan rawat Papaku dan rawat kamu, ok?"

Sungguh tak terduga. Keputusan Julia terdengar nekat dan merugikan. Cuti sama saja menunda kelulusan. Kemungkinan untuk lulus tepat waktu sangat kecil. Tapi, demi kasih dan cinta, semua kebaikan dan pengorbanan takkan sia-sia.

"Thanks, Julia." Calvin berujar perlahan, hanya itu yang sanggup diucapkannya.

"You're wellcome. Kita hadapi ini sama-sama..."

"Aduh, aku jadi pengen cuti juga." Albert menimpali. Sukses membuatnya dihadiahi deathglare Julia.

"Tugasmu adalah belajar yang benar sampai jadi dokter, Al. Trus obati Calvin, obati juga orang-orang sakit ini."

Hangat, kehangatan yang tak tergantikan menyelimuti sekeliling bed yang ditempati Calvin. Para pasien hemodialisa boleh iri. Calvin pasien yang paling banyak pendampingnya. Paling diperhatikan, paling dicintai.

Dokter Tian menangkap jelas semua itu. Ia berjalan ke tempat tidur itu, menyapa mereka semua. Larut dalam kehangatan yang sama.

"Calvin, sebelum mulai, saya punya tamu spesial untukmu. Pendampingmu bertambah dua lagi."

"Siapa, Dokter Tian?"

Pertanyaannya terjawab seketika. Dua sosok tampan dan cantik baru saja tiba. Sosok-sosok inilah yang mewariskan gen baik pada Calvin. Keduanya mempercepat langkah, kemudian memeluk pemuda rupawan berwajah pucat di atas bed.

"Papa? Mama?" Bibir Calvin bergerak, menyebut nama mereka.

Demi Allah, ini bukan harapannya. Justru ingin dia sembunyikan sakit ini serapat-rapatnya dari mereka. Namun, mengapa harus begini?

"Jangan salahkan Papa Tian. Papa memberi tahu orang tuamu karena mereka berhak tahu." Albert berkata dengan nada memohon.

Tidak, Calvin takkan menyalahkan sesiapa. Mungkin memang sudah takdirnya bagi mereka untuk tahu. Rusaklah segala rencananya.

Lima jam hemodialisa dan single use. Tangan kokoh nan hangat milik Tuan Effendi menggenggam kuat tangan Calvin ketika perawat memasangkan blood lineakan pada AV shunt di lengannya. Calvin menahan kesakitan, tangan lembut Nyonya Rose ikut memberikan genggaman. Menyalurkan kekuatan dan sugesti positif. Ada energi baik di situ, energi untuk terus bertahan.

"Malaikatnya Mama dan Papa pasti kuat...pasti sembuh."

"Malaikatnya Mama dan Papa harus tegar...tidak boleh menyerah."

Mereka bergantian menghiburnya. Menguatkannya di saat-saat paling menyakitkan. Mengalirkan semangat hidup dan motivasi.

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun