Ia tak banyak bicara. Meski begitu, sepasang mata sipit beningnya tetap menyimpan cerita. Cerita hati tentang kekhawatiran.
Berulang kali, tangan putih dan kurus itu menyentuh pelan selang oksigen yang terpasang di hidung. Tak nyaman dengan peralatan medis yang harus dipakainya. Ah, ini berat, sangat berat.
“Kenapa harus selang oksigen? Sakitku sudah separah itukah?”
Kata protes terlontar keluar. Ditingkahi ekspresi letih menghiasi wajah tampannya.
Pemuda tampan berambut pirang dan bermata biru menjawab sabar. “Kan Dokter Tian bilang sendiri, saturasi oksigen di tubuhmu sangat rendah.”
Pemuda oriental yang terbaring di ranjang putih itu menatap hampa langit-langit. Tangan kanannya terkepal. Memperlihatkan jari-jari panjang, lentik, namun sangat kurus.
“Nah, selesai. Time to go...”
“Wait.”
“Ada apa lagi, Calvin?”
“Aku ingin bernyanyi dan main piano sebelum hemodialisa, Revan.”
Mudah, sangat mudah menurutinya. Apa barang pribadi Calvin yang tak ada di kamar VIP super mewah dan lengkap ini? Revan menghela nafas sabar. Setelah menyeka bersih dan menggantikan pakaian, menemani sahabat istimewanya main piano sebelum cuci darah tak masalah.