"Hei, calon dokter bule! Aku kan harus rawat Papaku yang kena penyakit jantung?! Kamu lupa?!" bentak Julia dalam bisikan.
Albert menyeringai kecil. Ia lupa, benar-benar lupa. Mengabaikan permintaan maaf diiringi tawa malu-malu Albert, Julia bergeser ke dekat ranjang. Menatap lekat mata Calvin.
"Calvin, kamu pasti sembuh. Dan kamu takkan sendiri. Semester ini aku juga cuti, sama sepertimu. Aku akan rawat Papaku dan rawat kamu, ok?"
Sungguh tak terduga. Keputusan Julia terdengar nekat dan merugikan. Cuti sama saja menunda kelulusan. Kemungkinan untuk lulus tepat waktu sangat kecil. Tapi, demi kasih dan cinta, semua kebaikan dan pengorbanan takkan sia-sia.
"Thanks, Julia." Calvin berujar perlahan, hanya itu yang sanggup diucapkannya.
"You're wellcome. Kita hadapi ini sama-sama..."
"Aduh, aku jadi pengen cuti juga." Albert menimpali. Sukses membuatnya dihadiahi deathglare Julia.
"Tugasmu adalah belajar yang benar sampai jadi dokter, Al. Trus obati Calvin, obati juga orang-orang sakit ini."
Hangat, kehangatan yang tak tergantikan menyelimuti sekeliling bed yang ditempati Calvin. Para pasien hemodialisa boleh iri. Calvin pasien yang paling banyak pendampingnya. Paling diperhatikan, paling dicintai.
Dokter Tian menangkap jelas semua itu. Ia berjalan ke tempat tidur itu, menyapa mereka semua. Larut dalam kehangatan yang sama.
"Calvin, sebelum mulai, saya punya tamu spesial untukmu. Pendampingmu bertambah dua lagi."