Sepanjang sisa sore itu, dua sahabat beda etnis saling mendiamkan. Saling menjauh walau tetap berada di bangunan putih yang sama. Datangnya waktu berbuka puasa tak mencairkan kebekuan mereka. Albert justru sengaja mengajak beberapa suster dan koleganya sesama dokter berbuka puasa di resto yang baru buka di seberang rumah sakit. Ia pergi tanpa mengajak Calvin.
Calvin sendiri stay cool. Menu sederhana di cafetaria rumah sakit jadi alternatif yang disukainya. Sore ini, ia berbuka sendirian. Tak peduli pembiaran Albert.
Tarawih pun sama saja. Masjid di sayap kanan gedung rumah sakit menjadi saksi bisu perang dingin dua sahabat ini. Seperti biasa, Calvin mengambil saf paling depan. Albert sengaja berdiri di saf paling belakang. Nyata sekali ingin menjauh.
Bukan Calvin Wan jika main-main dengan ucapannya. Malam itu, dia stay di rumah sakit. Menantikan luluhnya hati Albert. Yang ditunggu tak luluh juga. Menjelang sahur, Calvin mulai putus asa. Pria kelahiran 9 Desember itu mengontak rekannya di maskapai penerbangan. Mengatur agar dirinya mendapatkan flight tercepat ke tempat yang ditujunya. Tak ada Albert, biarlah Calvin saja.
** Â Â Â
Selimut tebal itu merosot pelan. Jatuh ke kakinya. Dokter Tian masih terlelap. Tak sadar tertidur di atas kursi rodanya.
Entah mimpi apa yang mengganggu tidurnya. Sekali-dua kali ia bergumam dalam tidur.
"Nak, pulanglah...Papa takut. Papa takut hidup Papa akan berakhir sebelum kamu pulang."
Menyedihkan, rindu yang memuncak dari seorang ayah tiri. Kerinduan yang berpadu dengan sindrom sarang kosong atau empty nest sindrome. Gangguan psikologis ini dialami para orang tua yang ditinggalkan anak-anaknya. Setelah si anak dewasa dan meninggalkan rumah untuk hidup mandiri, orang tua yang menderita sindrom ini akan mengalami kesedihan besar. Bila di Indonesia, para ibu yang sering mengidap empty ness sindrome. Namun tak tertutup kemungkinan pula seorang ayah dapat merasakannya.
Brak!
Gawat, Dokter Tian jatuh dari kursi rodanya. Darah mengalir dari kepalanya. Disusul rasa sakit luar biasa.