"Tuan muda pasti telepon, Dokter. Mungkin sedang sibuk."
Penghiburan asisten rumah tangganya tak mengobati keresahan Dokter Tian. Digerakkannya kursi roda otomatis ke ruang tamu. Sepi mengurung hati rapat-rapat. Rumah ini serasa terlalu besar untuk ditempati sendiri.
Lagi-lagi Dokter Tian seperti kehilangan dirinya. Sedih ini mencengkeramnya kuat-kuat, tak mau pergi. Nanar dipandanginya meja marmer, lantai terracotta, lukisan-lukisan mahal yang terpajang di dinding, pigura foto, dan lemari besar berisi pajangan kristal. Bunga yang tertata di dalam vas kristal sudah layu, selayu hatinya.
Samar didengarnya bisikan si asisten rumah tangga dengan tukang kebun. Beberapa kalimat pasti mengarah ke dirinya. Sudah terlalu banyak orang yang iba. Tak bisakah mereka berhenti?
"Kasihan ya, Dokter Tian. Wajar Pak Dokter sedih. Belum lama kecelakaan, divonis lumpuh, Tuan Muda nggak peduli...hmmmm. Coba masih ada Nyonya Tanty. Dokter Tian nggak akan kesepian."
"Ah, kamu ini jangan ngawur. Nggak mungkin Nyonya Tanty balik lagi sama Dokter Tian. Sudah, kita harus jaga Dokter Tian. Cuma kita yang bisa diharapkan. Lebaran ini, aku juga nggak akan mudik kok. Mau jaga Dokter Tian saja di sini."
"Iya juga ya. Aku juga nggak mau mudik. Nanti Pak Dokter nggak ada yang jagain. Jangan berharap sama Tuan Muda."
Luar biasa loyalitas kedua orang yang dipekerjakan Dokter Tian. Mereka boleh saja miskin secara materi, tetapi hati mereka kaya kasih sayang dan kesetiaan. Miskin harta tak berarti miskin kasih, kan?
Tersentuh mendengar dialog sederhaana itu, Dokter Tian mengarahkan kursi rodanya ke ruang tengah. Sudah, sudah cukup. Ia takkan sanggup bila harus mendengar kelanjutannya. Mereka begitu baik dan peduli.
Orang lain saja bisa begitu baik, lalu bagaimana dengan anaknya? Segera saja Dokter Tian menelepon Albert untuk mendapatkan jawaban.
"Kenapa lagi, Papa? Memangnya Papa Tian nggak punya kerjaan lain ya, selain telepon Al? Al sibuk, Pa. Coba ngertiin Al dong. Papa Roger Hartman aja bisa paham. Masih banyak pasien di sini, bye Pa."