** Â Â Â
Derit roda-roda kursi beradu dengan permukaan jalan mengalihkan perhatian orang-orang yang melewati blok-blok di kompleks perumahan elite itu. Sontak tatapan mereka tertuju ke arah sesosok pria setengah baya bersweater biru muda di atas kursi roda. Wajah pria itu pucat, namun tetap memperlihatkan sisa-sisa ketampanan di masa lalu. Tatapannya hampa, sesekali menatapi jajaran bunga di tepi jalan. Sesekali memandangi langit sore yang cerah berlapis awan. Ia seakan tak menyadari keheranan para penghuni kompleks yang memperhatikannya.
"Sssttt...itu kan mantan direktur rumah sakit yang kecelakaan setengah tahun lalu."
"Dia kenapa ya? Kok sendirian? Bukannya anaknya dokter juga?"
"Nggak ada yang rawat di rumah kali ya...kasihan. Pasti depresi."
Marahkah ia mendengar bisikan-bisikan itu? Tidak. Untuk apa marah? Terus saja pria itu menggerakkan kursi roda otomatisnya. Mengarahkannya ke rumah paling besar dan paling mewah di kompleks perumahan itu.
Sebuah rumah besar berlantai dua dengan dominasi warna biru laut. Warna yang menyejukkan mata. Di halaman depan, nampak seorang tukang kebun berambut keriting tengah memotong rumput. Begitu dia tiba di rumah, perempuan awal 40-an berwajah lugu dan mengenakan apron putih berlari menghampirinya.
"Masya Allah...Dokter, Dokter Tian kemana saja? Kami semua khawatir!" serunya.
Terkadang ia merasa tak enak. Pedih juga mendengar panggilan dokter tetap ditujukan untuknya, sekalipun ia bukan lagi seorang dokter. Bukan pula direktur rumah sakit seperti dulu.
"Saya baik-baik saja. Ada telepon dari Albert?" tanya Dokter Tian mengalihkan pembicaraan.
Si wanita menggeleng lemah. Kecewa, bayangan itu melintas di wajah sang mantan dokter.