Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malaikat Membuka Mata di Sepertiga Malam

10 Mei 2018   05:59 Diperbarui: 10 Mei 2018   06:03 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Andai kau tahu

Di sini ku merindu kamu

Merindu karena ku tak mampu

Bertahan untuk tak memilikimu

Kau yang selalu ada di dekatku

Kau sahabatku

Haruskah ku menunggu

Hingga kau mengerti

Resah hati ini

Tak ingin dirimu bersama yang lain

Aku sedang mencintaimu

Meski kau takkan pernah tahu (Maudy Ayunda-Aku Sedang Mencintaimu).

**       

Naik-turun tangga, berjalan dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Resah melirik jam berkali-kali. Wanita cantik bergaun pale blue ini gelisah. Menanti pria pendamping hidupnya kembali. Menyimpan sejumput ketakutan di dalam hati. Takut terjadi sesuatu padanya.

"Calvin, kamu dimana?" desahnya. Menatap langit-langit, pasrah.

Hati manusia sungguh aneh. Bukannya ia tak pernah mencintai suaminya? Mengapa kini tetiba ia mencari-carinya? Mengharapkannya segera kembali?

Perlahan didorongnya pintu. Desis lembut pendingin ruangan seperti beribu-ribu kali lipat lebih keras. Keheningan di rumah besar ini sudah kelewat akut. Wanita itu kesepian, sungguh kesepian. Ya Allah, mengapa tetiba ia sangat merindukan Calvin? Bukankah cintanya hanya untuk pria lain? Pria yang telah lama pergi mendahuluinya ke kehidupan lain?

Tangannya gemetar saat meraih telepon. Menekan nomor kantor. Terlalu sibukkah suami super tampannya hingga tak sempat memberi kabar? Ataukah ia tengah bersama wanita lain di luar sana? Barangkali mengajaknya ke luar kantor. Meeting jadi alibi. Ternyata terlibat kencan romantis di cafe termahal. Atau bisa jadi, one night stand di hotel mewah. Ia terkesiap, tak mampu membayangkan lebih jauh. Sungguh, ia takkan rela bila Calvin melakukan itu.

Mengapa pula ia harus tak rela? Bila tak cinta, seharusnya tak usah peduli. Tapi...

"Selamat sore," sapa sebuah suara renyah di seberang sana. Suara alto seorang perempuan.

"Agatha, apa Pak Calvin ada di kantor?" tanya wanita itu, bibirnya bergetar.

"Oh, ini Nyonya Syifa ya? Bapak sudah keluar kantor sejak tadi siang. Katanya ada perlu. Menjemput Pak Revan di airport. Tapi, sampai sekarang belum kembali. Mungkin tidak akan balik ke kantor."

Pelan diletakkannya kembali telepon itu. Hatinya gusar bercampur resah. Mungkin menjemput Revan dijadikan alasan bagus untuk bersembunyi. Syifa menghela napas panjang, gamang memain-mainkan rambutnya.

Seorang asisten rumah tanggga mendekat. Tersenyum lembut pada sang nyonya rumah.

"Nyonya belum mau makan?" Ia bertanya halus.

Syifa menggeleng kuat. "Saya tidak lapar."

"Tapi Nyonya belum makan dari pagi."

"Saya akan makan kalau Calvin sudah datang."

Kerutan terurai di kening asisten rumah tangga itu. Ia tersenyum penuh pengertian. Sadar bila majikan cantiknya mulai dirasuki benih-benih cinta.

Sejurus kemudian, Syifa naik ke lantai atas. Berdiri kaku di balkon. Memandangi langit merah keunguan. Gradasi senja yang menawan.

"Calvin..." bisiknya.

"Calvin Wan, I miss you."

Demi mengobati sedikit kerinduannya, Syifa meraih iPadnya. Membuka blog pribadi milik Calvin. Dibacanya tulisan Calvin tentang Whatsapp yang ditinggalkan pendirinya, setelah pengunduran diri itu. Tanpa sadar air matanya melelh. Kerinduan yang kuat menjajah jiwanya.

"Kau tak pernah berubah, Calvin. Penutup tulisanmu selalu sama. Hanya sekadar berbagi. Calvin Wan yang rendah hati, penyayang, dan dermawan. Sangat khas dirimu." Syifa bergumam lirih, menciumi iPadnya.

Apa-apaan ini? Mungkinkah logikanya telah pergi hanya gegara rindu? Mengapa pula harus merindukan Calvin?

**        

Syifa berlari di sepanjang koridor rumah sakit. Debar kecemasan di hatinya tak juga berhenti. Mengapa harus begini? Mengapa harus Calvin?

Bibirnya tak henti mendaraskan doa. Mengharapkan kesembuhan suami super tampannya. Syifa sudah pernah kehilangan seorang suami. Ia tak ingin kehilangan lagi. Sungguh tak ingin lagi.

Penuturan Revan yang didengarnya setengah jam lalu sukses merobek hatinya dengan kekhawatiran luar biasa. Rasanya belum pernah ia sekhawatir ini. Terakhir kali ia teramat mencemaskan orang lain saat pria di masa lalunya menjalani pemasangan Cardiac Resynchronization Therapy. Dan pria yang dikhawatirkannya dulu bukanlah Calvin. Padahal Calvin sudah lama sakit. Sakit yang jauh lebih parah dari itu.

Tiba di President Suite, Syifa terperangah. Ia belum siap, belum siap melihat Calvin terbaring dengan selang oksigen di hidungnya dan peralatan medis terlengkap di sekelilingnya. Bekas darah tersisa di dagu dan sudut bibirnya. Syifa mengulurkan tangan. Lembut mengusap bersih sisa darah itu.

"Calvin, jangan tinggalkan aku. Aku tak mau kehilangan siapa pun lagi. Aku tak mau kehilangan kamu."

Sayang sekali, Calvin tak mendengarnya.

**       

Elektrokardiograf berpacu pelan. Menandakan betapa lemahnya detak jantung Calvin. Syifa duduk di samping ranjang. Menjaganya, menemaninya, menunggunya membuka mata. Tak pernah jauh darinya.

Hati Syifa disesaki rindu. Benaknya meneriakkan kesedihan. Bisakah penyakit itu dipindahkan ke tubuhnya saja? Agar Calvin tak perlu merasakan sakit lagi.

Ditatapnya lekat-lekat seraut wajah tampan itu. Walaupun pucat, hal itu tidak mengurangi ketampanannya. Calvin tetap tampan dalam keadaan sakit.

"Kau bukan sekadar suamiku, Calvin. Kau malaikatku. Malaikat yang menyelamatkanku dari kesendirian. Malaikat yang telah banyak menolong orang lain. Malaikat untuk anak-anak terlantar, orang-orang yang terbuang, minoritas, dan untuk para lansia tak terurus di panti itu. Perlukah kuberi tahu mereka jika malaikatku ini sedang sakit? Tapi, kamu pasti takkan mengizinkannya." Syifa mulai bicara, menggenggam erat tangan Calvin.

Tak seperti biasa, tangan Calvin terasa sangat dingin. Dengan mata berkaca-kaca, Syifa meneruskan.

"Kamu hebat. Dalam keadaan sakit, masih bisa mengimami sekelompok Muslim pribumi shalat Maghrib. Walaupun kamu ditolak, ditatap aneh, bahkan dicurigai. Tapi kamu tetap tegar."

Sekilas diliriknya jas hitam yang terlipat rapi di atas nakas. Masih terlihat bercak-bercak darah di sana. Hati Syifa selalu trenyuh tiap kali melihat darah Calvin.

Waktu merambat pelan. Jarum jam berputar-putar, lambat dan menggelisahkan. Di sepertiga malam, Syifa bangkit. Mengambil wudhu. Mengenakan abaya Turki hitamnya. Abaya itu cukup mahal. Hadiah pemberian Calvin sewaktu ia mengajak Syifa traveling ke Turki enam bulan lalu.

Seraya memakai hijabnya, Syifa terkenang Calvin. Begitulah suaminya. Suami paling sempurna, seperti kata teman-teman sosialitanya. Calvin melimpahinya dengan materi, waktu, dan kasih sayang. Blogger dan pengusaha itu setulus hati mencintainya. Mendukung setiap langkahnya, dengan dukungan moril dan materil.

Hijab dan abayanya telah terpasang. Menghadap kiblat, Syifa mengangkat tangannya dalam gerakan takbiratul ihram. Shalat di sepertiga malam. Salah satu waktu terkabulnya doa.

Sama seperti Calvin, Syifa terbiasa shalat dengan gaya Turki dan Timur Tengah. Ia tak pernah terbiasa shalat dengan memakai mukena. Abaya lebih nyaman baginya, sama seperti Calvin yang nyaman mengenakan jas.

Wanita cantik itu bersujud. Sujud yang sangat lama. Dalam sujudnya, Syifa menangis. Memohon pada Allah untuk menyembuhkan malaikat tampan bermata sipitnya. Berharap Allah mengangkat penyakit itu dari tubuhnya.

Dalam duka, Syifa ungkapkan segalanya. Kesedihannya, rasa takut kehilangan, keinginan untuk bersama lagi dengan Calvin Wan. Syifa ingin bersama Calvin. Di dunia, juga di akhirat. Hatinya telah terbuka sepenuhnya untuk mencintai Calvin. Pria yang begitu tampan, begitu baik, begitu sempurna untuk dicinta.

"Ya Allah, bolehkah aku bersama Calvin Wan di dunia dan akhirat?" tangis Syifa.

Lama ia menyelesaikan shalatnya. Setelah itu, ia kembali ke sisi ranjang. Kembali memegang erat tangan Calvin. Lembut membelainya. Belaian lembut penuh cinta.

"Calvin, I love you." ungkapnya, tulus dan dalam.

Ia membungkuk. Mencium kening Calvin. Semenit. Tiga menit. Lima menit. Syifa merasakan gerakan kecil dari tangan yang dipegangnya. Jantungnya nyaris berhenti berdetak. Mungkinkah...?

Bulu mata lentik itu bergerak-gerak. Malaikat tampan bermata sipit itu...digerakkan oleh kekuatan doa dan kasih Allah...mulai membuka mata. Kebahagiaan mengaliri hati Syifa. Cepat-cepat diusapnya air mata. Diberikannya senyum termanis. Ia tak ingin Calvin melihatnya menangis.

Senyum tipis dilempar Calvin saat bertatapan dengan Syifa. Bibirnya bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu. Syifa berujar lembut.

"Apa yang ingin kaukatakan, Sayang?"

Jeda sejenak. Syifa menatap prianya penuh cinta. Pria yang sering iaa sakiti, lukai, dan maki-maki. Pria yang ingin ia temani, di dunia maupun di akhirat.

"Syifa Ann...I love you too."

**       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun