"Kau tak pernah berubah, Calvin. Penutup tulisanmu selalu sama. Hanya sekadar berbagi. Calvin Wan yang rendah hati, penyayang, dan dermawan. Sangat khas dirimu." Syifa bergumam lirih, menciumi iPadnya.
Apa-apaan ini? Mungkinkah logikanya telah pergi hanya gegara rindu? Mengapa pula harus merindukan Calvin?
** Â Â Â Â
Syifa berlari di sepanjang koridor rumah sakit. Debar kecemasan di hatinya tak juga berhenti. Mengapa harus begini? Mengapa harus Calvin?
Bibirnya tak henti mendaraskan doa. Mengharapkan kesembuhan suami super tampannya. Syifa sudah pernah kehilangan seorang suami. Ia tak ingin kehilangan lagi. Sungguh tak ingin lagi.
Penuturan Revan yang didengarnya setengah jam lalu sukses merobek hatinya dengan kekhawatiran luar biasa. Rasanya belum pernah ia sekhawatir ini. Terakhir kali ia teramat mencemaskan orang lain saat pria di masa lalunya menjalani pemasangan Cardiac Resynchronization Therapy. Dan pria yang dikhawatirkannya dulu bukanlah Calvin. Padahal Calvin sudah lama sakit. Sakit yang jauh lebih parah dari itu.
Tiba di President Suite, Syifa terperangah. Ia belum siap, belum siap melihat Calvin terbaring dengan selang oksigen di hidungnya dan peralatan medis terlengkap di sekelilingnya. Bekas darah tersisa di dagu dan sudut bibirnya. Syifa mengulurkan tangan. Lembut mengusap bersih sisa darah itu.
"Calvin, jangan tinggalkan aku. Aku tak mau kehilangan siapa pun lagi. Aku tak mau kehilangan kamu."
Sayang sekali, Calvin tak mendengarnya.
** Â Â Â Â
Elektrokardiograf berpacu pelan. Menandakan betapa lemahnya detak jantung Calvin. Syifa duduk di samping ranjang. Menjaganya, menemaninya, menunggunya membuka mata. Tak pernah jauh darinya.