Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Melodi Silvi] Merangkap Dokter Cinta

5 April 2018   06:47 Diperbarui: 5 April 2018   06:58 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belasan anak usia empat-lima tahun memasuki gerbang taman kanak-kanak. Senyum ceria menghiasi wajah mereka. Tangan-tangan mungil menyalami Syifa. Antusias menyapanya, memanggilnya "Bu Guru Cantik" seperti biasa.

Syifa balas tersenyum pada murid-muridnya. Pandangan mereka beralih pada sosok pria tampan di samping Syifa. Pria yang sudah lama tak terlihat, tapi tetap mereka ingat. Belasan kanak-kanak itu berseru senang.

"Ada Pak Guru Ganteng!"

Seruan excited itu membuat sang pria tertawa kecil. Ia jarang mengajar di sini. Hanya sesekali mendampingi Syifa. Namun para murid tak pernah melupakannya.

"Mereka masih mengingatmu, Adica." bisik Syifa.

Cukup lama Adica berada di sana. Ia saksikan murid-murid Syifa masuk kelas dengan tertib. Syifa mengajari mereka menyanyi, menggambar, dan melipat kertas. Tanpa ragu, Syifa dan Adica berkeliling di antara para murid. Membantu mereka yang kesulitan mengerjakannya. Tak semuanya mulus. Satu-dua anak merajuk, enggan ditinggal nani-nya. Siapa lagi yang menenangkan kalau bukan Adica dan Syifa?

Mengajar di taman kanak-kanak memberikan warna tersendiri. Syifa menikmatinya. Adica mendukung sepenuh hati pilihan istri cantiknya. Para nani dan orang tua murid yang kebetulan mengantar anaknya, terkesan melihat mereka berdua. Semuanya sepakat kalau Adica dan Syifa pasangan serasi. Pasangan serasi boleh saja, tetapi masihkah mereka bahagia?

Di luar gerbang taman kanak-kanak, Calvin memperhatikan adik angkatnya dan istrinya. Sedikit rasa syukur mengaliri hati. Setidaknya mereka masih terlihat baik-baik saja di depan semua orang.

"Ya Allah, kembalikanlah kebahagiaan Adica dan Syifa. Orang baik seperti mereka layak berbahagia." doanya perlahan.

Calvin menanti dengan sabar. Sampai akhirnya Adica memberikan kecupan hangat di kening Syifa sebagai tanda perpisahan, lalu berjalan menghampirinya. Urusan keluarga selesai. Saatnya rapat.

**      

Ruangan meeting berbentuk oval, kursi-kursi empuk, AC, slideshow, coffee break, dan para petinggi perusahaan berjas rapi mendominasi suasana rapat pagi ini. Tepat waktu dan disiplin. Tak ada yang mengantuk, mengobrol yang tak penting dengan tetangga duduknya, atau bermain gadget. Calvin berhasil menjadi pemimpin rapat yang baik. Ia buat semua mata tertuju padanya.

Adica duduk di sampingnya. Cemas dan kalut menjadi satu. Bukannya ia tak berani menghadapi belitan permasalahan fitnah di perusahaan, melainkan ia tak ingin menyusahkan Calvin lagi. Detak jantungnya serasa memukul-mukul tulang rusuknya. Seakan organ terpenting dalam kehidupan itu ingin melompat keluar dari tubuhnya. Dada kirinya terasa amat sakit. Terasa berat tiap kali menarik napas. Ayah kandung Rossie dan si kembar Julia-Calisa itu hanya bisa berdoa meminta kekuatan.

"Allahumma maalikal mulki tu'tiil mulka man tasyaa-u watanzi'ul mulka mimman tasyaa-u watu'izzu man tasyaa-u watudzillu man tasyaa-u biyadikal khairu innaka 'ala kulli syai-in qadiirun." lirihnya.

Sekilas Calvin mendengar suara bariton di sampingnya menggumamkan doa itu. Ia tahu doa itu ada dalam Al-quran. Doa meminta kekuatan pada Allah, ada di ayat ke26 Surah Ali Imran.

Walaupun tenang dan berwibawa saat memimpin rapat, Calvin merasakan denyut kecemasan. Pertama, ia mencemaskan kondisi Adica. Kedua, ia mengkhawatirkan kondisinya sendiri. Sungguh ironis dan nyaris tak masuk akal. Seorang surviver kanker mendampingi, menjaga, dan merawat penderita gagal jantung. Sesungguhnya Calvin tak berdaya. Namun demi Adica, ia kuat.

Sesuatu yang tak terduga terjadi seusai rapat. Ketika Calvin dan Adica keluar dari meeting room, seorang lelaki berkemeja coklat mendekati mereka. Wajah kusutnya berangsur cerah.

"Selamat siang Pak Adica, Pak Calvin." sapanya, dengan sopan menyalami mereka.

Lelaki itu tak lain Sihar. Nada suara Calvin lebih dingin saat membalas sapaan staf seniornya. Sebaliknya, Adica tetap ramah dan hangat. Nampaknya tak ada dendam pada staf yang telah memfitnahnya.

"Pak Adica, saya minta maaf. Saya mengaku salah. Sengaja saya tunggu Anda selesai rapat hanya untuk meminta maaf." Sihar berujar setulus-tulusnya.

Adica tertegun. Tak menyangka stafnya berani datang meminta maaf langsung padanya. Sihar melanjutkan. "Saya sudah tahu semuanya...termasuk tentang sakitnya Bapak. Bahkan saya baca tulisan-tulisan di blog Anda. Sejak itu, saya menyesal. Tolong maafkan saya."

"Sihar, apa kamu merasa bersalah dan meminta maaf karena kasihan pada saya?" tanya Adica.

Sihar tergeragap. "Oh...tidak, sama sekali tidak. Permintaan maaf ini tulus dari hati. Saya menyadari kesalahan saya."

"Saya tak ingin dikasihani, Sihar. Tapi saya percaya kamu meminta maaf dengan tulus. Jauh sebelumnya, saya sudah memaafkanmu."

"Anda memaafkan saya? Syukurlah...terima kasih." Kelegaan terpancar di wajah Sihar. Calvin menatap adik angkatnya penuh kasih. Bangga pada adiknya yang berjiwa besar dan pemaaf.

Sejurus kemudian ketiganya berjalan beriringan menuju koridor kedua. Banyak petinggi perusahaan yang melihat adegan itu. Mereka salut dan terpesona. Saat melewati tangga, Calvin menahan langkah Adica. Sihar ikut menghentikan langkah.

"Jangan lewat tangga, Adica. Kita pakai lift saja." cegah Calvin.

Betapa cepatnya situasi berbalik. Beberapa bulan lalu, Adica protektif pada Calvin. Sampai-sampai meminta Anton menjaganya. Sekarang justru Calvin yang over protektif pada Adica.

Di dalam lift, Adica meminta sesuatu pada Calvin. Ia ingin berziarah ke makam kedua orang tuanya. Calvin setuju. Ia pun ingin menziarahi makam Papa-Mamanya.

**     

Syukur tak pernah lepas dari hatinya. Beginilah jadinya bila berbuat sesuatu demi kebaikan. Selama mendampingi dan membantu Syifa merawat Adica, Calvin merasa sehat. Ia seolah diberi kekuatan oleh Allah. Dirinya memegang amanah menjaga adik angkatnya yang sakit parah. Ia pun mendorong dirinya sendiri untuk tetap kuat. Buktinya, Calvin tak merasakan sakit sedikit pun. Allah selalu merestui niat baik.

Allah memudahkan langkahnya. Tak terkecuali saat menyetir mobil dalam jarak jauh dari kota bunga ke San Diego Hills. Berkali-kali Adica ingin menggantikan, tetapi ditolaknya. Seetengah perjalanan, Calvin toh mengalah juga. Ia melakukannya hanya karena ingin menyenangkan hati Adica.

Alhasil sisa perjalanan dilewati Calvin dengan memperbaharui isi melodisilvi.com. Hari ini Calvin tertarik mengangkat isu kebocoran data Facebook dalam tulisannya. Menurut Calvin, bocornya data Facebook barulah awal sebelum masa keterbukaan data. Brilian juga pemikirannya.

Tepat ketika tulisan itu diposting, Calvin dan Adica sampai di San Diego Hills. Sebuah pemakaman yang lain dari pada yang lain. Taman pemakaman eksklusif super mewah milik Lipo Group itu jauh dari kesan suram. Taman pemakaman ini lebih mirip tempat rekreasi keluarga. Restoran La Collina, danau lengkap dengan perahu dayungnya, tempat ibadah, florist and gift shop, dan sales office bernuansa country club menjadi fasilitas yang memanjakan para peziarah.

"Kalau aku meninggal, aku ingin dimakamkan di sini." ujar Adica mengagetkan Calvin.

"Jangan mengucap kata-kata penebar firasat, Adica." Calvin menyahuti, waswas.

"Kamu tahu? Aku sudah memesan makam di sini."

Sesaat Calvin terdiam. Beristighfar dalam hati. Tak menyangka Adica sudah berbuat sejauh itu.

Di Mercy Mansion, mereka berhenti. Memusatkan fokus perhatian pada makam kedua orang tua mereka. Membaca Yasin tiga kali. Berdoa khusyuk untuk orang tua mereka yang telah berpulang.

Anak tetaplah anak. Walau berstatus direktur utama, komisaris utama, walaupun berharta banyak, bakti pada orang tua terus berjalan. Tidak ada yang namanya mantan anak. Samar, Calvin mendengar Adica berbisik di depan makam Mamanya sambil mengecup nisan.

"Ma, sakitkah rasanya dijemput kematian?"

**       

Desir pasir di padang tandus

Segersang pemikiran hati

Terkisah ku di antara

Cinta yang rumit

Bila keyakinanku datang

Kasih bukan sekadar cinta

Pengorbanan cinta yang agung kupertaruhkan

Maafkan bila ku tak sempurna

Cinta ini tak mungkin kucegah

Ayat-ayat cinta bercerita cintaku padamu

Bila bahagia mulai menyentuh

Seakan ku bisa hidup lebih lama

Namun harus kutinggalkan cinta

Ketika ku bersujud (Rossa-Ayat-Ayat Cinta).

**     

Nuansa pedesaan khas Italia memanjakan pandangan mata. Restoran La Collina, mereka datangi. Gaya Italia pada restoran ini sejalan dengan konsep Eropa Mediterania di kompleks San Diego Hills.

"Calvin, lihat itu." tunjuk Adica ke sebuah meja di dekat pintu.

Mengikuti arah pandang Adica, Calvin sedikit kaget bercampur senang. Dua pria berjas putih di sana familiar. Albert dan Dokter Rustian. Entah kebetulan, entah bukan.

Rupanya ayah dan anak itu menangkap tatapan mata Calvin. Mereka bangkit, saling bertukar sapa. Lalu mengajak bergabung. Keempat lelaki charming lintas generasi itu duduk semeja. Albert dan Calvin berhadapan dengan Adica dan Dokter Rustian.

"Kebetulan sekali ya," komentar Calvin.

"Iya. Ah, untung di sini ada makanan Indonesia juga." Albert membalik-balik daftar menu.

Tersenyum simpul, Adica berkata sambil lalu. "Kamu tetap sama ya. Orang Jerman yang cinta Indonesia."

"Biasa saja. Aku orang Indonesia, Adica. Bukan orang Jerman, bukan juga Skotlandia."

Bermula dari perbincangan ringan. Akhirnya toh bicara serius juga. Namun kali ini terbagi dua kutub. Adica dengan Dokter Rustian, Albert dengan Calvin.

"Jujur aku kecewa setelah mendengar semuanya, Calvin." Albert berbisik, takut ayah dan temannya mendengarkan. Sukses membuat Calvin mengangkat alisnya.

"Kamu berduaan dengan Syifa, dan gara-gara itu Adica..."

"Demi Allah aku tidak bermaksud mengkhianati Adica."

Albert menghempas napas kesal. "Calvin Wan...makanya kamu menikah. Biar tak terjadi fitnah."

Lagi-lagi menikah. Tidak ada lagikah saran yang lebih bermutu? Calvin menggigit bibirnya.

Sementara itu, di seberang meja, Adica dan Dokter Rustian tak kalah seriusnya. Dokter Rustian menempatkan diri sebagai ayah, problem solver, pendengar, bahkan mungkin dokter cinta. Bagaimana tidak, ia menampung curahan hati suami perfect yang merasa terkhianati.

"...Saya terjebak dalam cinta yang rumit. Walaupun Calvin dan Syifa telah menceritakan versi mereka, tapi tetap saja."

"Kamu sedih? Atau marah? Atau cemburu?"

"Semuanya, Dokter. Mungkin itulah yang membuat rasa sakit ini semakin parah."

Dokter Rustian berempati. Ia berujar lembut. "Adica, cemburu itu tanda cinta. Sangat wajar, tapi setidaknya percayalah penjelasan mereka. Saya pikir, mereka bukan tipe pengkhianat."

Sulit sekali Adica mempercayai penjelasan Calvin dan Syifa. Hatinya terlanjur luka. Dokter Rustian terus menasihatinya untuk percaya. Cinta itu saling percaya. Tanpa kepercayaan, sulit mempertahankan cinta. Jauh di sudut hati, Adica mengakuinya. Namun sisi lain hatinya memberontak terlalu kuat. Dia belum bisa mempercayai Calvin dan Syifa. Kepercayaan yang dicederai, perlu waktu dan proses untuk memulihkannya.

**      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun