"Jujur aku kecewa setelah mendengar semuanya, Calvin." Albert berbisik, takut ayah dan temannya mendengarkan. Sukses membuat Calvin mengangkat alisnya.
"Kamu berduaan dengan Syifa, dan gara-gara itu Adica..."
"Demi Allah aku tidak bermaksud mengkhianati Adica."
Albert menghempas napas kesal. "Calvin Wan...makanya kamu menikah. Biar tak terjadi fitnah."
Lagi-lagi menikah. Tidak ada lagikah saran yang lebih bermutu? Calvin menggigit bibirnya.
Sementara itu, di seberang meja, Adica dan Dokter Rustian tak kalah seriusnya. Dokter Rustian menempatkan diri sebagai ayah, problem solver, pendengar, bahkan mungkin dokter cinta. Bagaimana tidak, ia menampung curahan hati suami perfect yang merasa terkhianati.
"...Saya terjebak dalam cinta yang rumit. Walaupun Calvin dan Syifa telah menceritakan versi mereka, tapi tetap saja."
"Kamu sedih? Atau marah? Atau cemburu?"
"Semuanya, Dokter. Mungkin itulah yang membuat rasa sakit ini semakin parah."
Dokter Rustian berempati. Ia berujar lembut. "Adica, cemburu itu tanda cinta. Sangat wajar, tapi setidaknya percayalah penjelasan mereka. Saya pikir, mereka bukan tipe pengkhianat."
Sulit sekali Adica mempercayai penjelasan Calvin dan Syifa. Hatinya terlanjur luka. Dokter Rustian terus menasihatinya untuk percaya. Cinta itu saling percaya. Tanpa kepercayaan, sulit mempertahankan cinta. Jauh di sudut hati, Adica mengakuinya. Namun sisi lain hatinya memberontak terlalu kuat. Dia belum bisa mempercayai Calvin dan Syifa. Kepercayaan yang dicederai, perlu waktu dan proses untuk memulihkannya.