"Sorry...I'm Moslem." Revan tergeragap, kaget dikira orang Yahudi.
Si pria berkipah lebih kaget lagi. Ia buru-buru minta maaf, dan melangkah pergi. Samar terdengar suara orang tertawa di belakang mereka.
"Sabar ya, Revan. Nasib jadi setengah bule...sering dikira Non-Muslim. Kita senasib kok."
Rupanya Anton, Albert, dan Adica. Calvin mau tak mau ikut tertawa. Revan menggosok-gosok mata birunya. Nampaknya ia mulai letih. Atau menyesal memiliki mata biru dan rambut pirang.
"Oh tidak, mereka mendekati Silvi." tunjuk Albert waswas.
Nama putrinya disebut-sebut. Refleks Calvin mengikuti arah pandang Albert. Silvi, putri cantiknya, putrinya yang telah lama ia tinggalkan, duduk manis di kursi roda. Gaun hitam panjang yang dikenakannya cerminan duka cita. Rambutnya terurai, mata birunya meredup. Entah karena lelah atau kedukaan.
Getaran hebat merayapi hati Calvin. Getaran cinta bercampur rindu. Putrinya cantik sekali. Calvin berlari mendekati Silvi. Mengagetkan dua pria berkipah itu. Otomatis mereka mundur. Memberi ruang gerak untuk Calvin.
"Silvi...Silvi Sayang." panggil Calvin lirih.
Silvi memalingkan wajah. Calvin makin mendekat. Calvin ingin memeluknya, namun...
"Silvi benci Ayah! Silvi kecewa sama Ayah!"
Teriakan Silvi menyedot perhatian para pelayat. Sungguh ironis. Calvin mencintai, Silvi membenci. Sabar, hanya itu garis pemisah antara cinta dan benci. Calvin bersabar menghadapi Silvi.