Namun di hati percaya terangkan kembali
Beranikan diri (Isyana Sarasvati-Lembaran Buku).
***
Kesunyian yang telah lama melingkupi rumah besar bertingkat dua dengan warna dominan putih itu dipecahkan oleh denting piano dan alunan suara bass yang empuk. Saat menyanyikan lagu itu, ia teringat Silvi. Pastilah seperti itu gambaran perasaan Silvi padanya. Menyedihkan, cinta dan bahagia terselimuti benci.
Setelah empat tahun berlalu, akhirnya Calvin kembali ke rumahnya. Rumah pribadi bergaya neo klasik, rumah yang dibelinya dari hasil kerja kerasnya sendiri. Bukan warisan Papanya, bukan pula hadiah dari keluarga besarnya.
Lantai satu digunakan sebagai ruang tamu, ruang santai, pantry, dan perpustakaan. Terdapat dua kamar di sana. Di lantai dua, terdapat ruang santai yang jauh lebih kecil, dilengkapi furniture dan grand piano hitam. Terdapat satu kamar utama dan dua kamar yang lebih kecil namun tak kalah mewah. Tiap kamar dilengkapi balkon dan kamar mandi pribadi.
Lantai marmer, pajangan kristal, sofa Chesterlief, perabotan mahal, dan lampu gantung Spectra Crystal mencerminkan pemilik rumah ini sangat kaya. Di atas garasi, terdapat rooftop garden. Formatnya berupa Green Roof Garden dengan beberapa tanaman dan boxwood sebagai bangku tamannya.
Bukan Calvin Wan namanya bila tak menyukai keindahan. Tanaman hias, bunga-bunga, dan piano menegaskan pria tampan bermata sipit itu menyukai keindahan. Tiba di rumah, hal pertama yang dilakukannya adalah bermain musik. Disaksikan Adica, Albert, Anton, dan Revan dengan kagum.
"Nice," puji Revan. Sisa warna yang semula hilang kini kembali menghiasi wajah pucatnya. Sesaat tadi, ketika memasuki rumah Calvin, Revan melihat kehadiran makhluk-makhluk tak kasat mata di dekat tangga. Revan memiliki mata hati. Ia mampu melihat hal-hal yang tak bisa dilihat orang kebanyakan.
Calvin tersenyum. "Kamu masih shock lihat mereka, Revan? Sorry...rumahku sudah lama tak ditempati. Jadinya begini."
"No problem. Hanya sedikit kaget." Revan berusaha tersenyum, menenangkan sahabat-sahabatnya.