"Kamu sedih, Calvin. Dan cemas...mata hatiku bisa melihatnya." gumam pria Minahasa-Portugis-Turki itu.
"Yups. Aku khawatir. Ini tentang Papa."
"Cerita saja, aku dengarkan."
Menghela napas berat, Calvin mengungkapkan kecemasannya. "Aku cemas kalau jenazah Papa dikremasi. Kamu bisa bayangkan, sakitnya tubuh yang dibakar. Jangankan dibakar, tersiram air mendidih saja sangat menyakitkan. Aku tidak tega."
"I see. Andai saja Papamu masuk Islam, tentu tak begini. Islam tidak membenarkan kremasi. Kata Baba dan Anne, Islam agama yang sangat memanusiakan manusia, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal. Jasad orang Islam diperlakukan sebaik mungkin. Karena kita paham, jiwa orang yang sudah meninggal pun masih bisa merasakan sesuatu." jelas Revan. Baba dan Anne, sebutan ayah dan ibu dalam Bahasa Turki.
Sesaat Calvin memejamkan mata. Beruntung saat itu mobil terhenti di traffic light. Ia tak sanggup bila harus melihat Papanya dikremasi.
"Allahumma inni a'uuzubika minal hammi wal hazan. wa a'udzubika minal ajzi wal kasali, wa a'udzubika minal jubni wal bukhli, wa a'udzubika min ghalabatid daini wa qahrir rijaal." Calvin lirih menggumamkan doa. Salah satu doa untuk mengatasi kesedihan.
** Â Â Â
Turun dari mobil, didapatinya rumah duka telah dipenuhi para pelayat. Nampak sekumpulan lelaki berambut gondrong dengan penampilan seperti seniman memberi penghormatan di depan peti jenazah. Wanita-wanita berkalung salib melangkah mundur, mereka baru saja memberi penghormatan. Tujuh orang berbaju koko dengan kopiah di kepala tiba. Mereka menunggu giliran sampai ke depan peti, lalu berdoa dengan cara Islam. Bahkan, terlihat dua orang pria berambut pirang, bermata hijau, berhidung bengkok, dan mengenakan kipah mendekat. Hati Calvin tersentuh. Ternyata Papanya dikenal dan dihormati banyak orang dari berbagai profesi dan agama.
"Shalom Aleichem,"
Di luar dugaan, salah satu pria berkipah menepuk bahu Revan. Ia mengucap salam tradisional khas komunitas Yahudi Askhanazi Eropa Timur.