"Abis ini, kamu biasanya langsung demam atau muntah. Aku buatin Sarabba ya." tawar Albert seraya bangkit berdiri. Melangkah ke pantry tanpa menunggu jawaban Revan.
Sarabba, minuman hangat khas Makassar. Terbuat dari jahe, gula merah, kayu manis, dan merica bubuk. Revan menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum mengawasi punggung Albert yang makin menjauh. Anak itu sangat Indonesia, pikir mereka. Mengerti pula kelemahan sahabat-sahabatnya.
Sementara Albert membuatkan Sarabba, Calvin menyiapkan kamar untuk Silvi. Ia melakukannya sendiri tanpa dibantu asisten rumah tangga. Sebagai ayah yang baik, Calvin mau melakukannya. Anton dan Adica meletakkan barang-barang Calvin di kamar utama. Tak tahan diam berlama-lama, Revan menyusul Calvin.
"Biar kubantu." ujar Revan.
"Tidak usah. Kamu istirahat saja. Lagi pula, setelah ini aku mau langsung ke rumah duka." Calvin menolak.
Namun Revan tak suka dilarang. Tetap saja ia membantu Calvin. Mengganti seprai, membersihkan karpet, meluruskan lukisan dan pigura, dan merapikan koleksi boneka Silvi.
Setengah jam kemudian, Calvin bersiap meninggalkan rumah. Anton, Albert, dan Adica sudah pergi lebih dulu. Hanya Revan yang menemaninya.
Calvin membuka pintu Nissan X-Trailnya. Saat itu Revan berkata cemas.
"Calvin, hidungmu berdarah."
Benar saja. Darah segar menetes. Seraya menyeka hidungnya, Calvin menampik tawaran Revan untuk membawa mobilnya. Ia berkeras membawa mobilnya sendiri. Revan menyerah. Ia berdoa agar tak terjadi sesuatu yang buruk.
Dalam duka, Calvin menyetir mobilnya. Tetap penuh konsentrasi. Wajahnya jauh lebih pucat dari sebelumnya. Darah yang mengalir dari hidungnya telah berhenti. Ruas-ruas jalan masih dipadati kendaraan. Berulang kali Revan melempar pandang khawatir.