Calvin mengangguk paham. Pantas saja tidak mirip dengan Dinda. Blogger, model, dan pengusaha super tampan itu bertanya-tanya dalam hati, mengapa Dinda mau merawat ibu tirinya.
"Kamu paasti heran, kenapa aku bersedia merawatnya." Dinda kembali bicara. Seolah membaca isi hati Calvin.
"Iya. Kenapa, Dinda?" Akhirnya Calvin memberanikan diri bertanya.
"Aku kasihan padanya. Dia istri ayahku. Ketika ibu kandungku meninggal, ayahku menikah lagi. Tapi ibu tiriku tak mau dibawa ke rumah utama keluarga kami. Dia memilih tetap tinggal di rumah lamanya. Praktis ayahku harus bolak-balik untuk mengurus istri dan anak-anaknya. Waktu itu, aku dan saudara-saudaraku sibuk dengan studi, jadi tak begitu perhatian dengan ibu tiri kami. Sampai akhirnya ayah meninggal..."
Kata-katanya menggantung di udara. Menanti dengan sabar, itulah yang dilakukan Calvin. Dinda bersandar letih ke sofa, lalu melanjutkan ceritanya.
"Bertahun-tahun kemudian, ibu tiriku sakit parah. Ia kena Stroke dan Tuberkulosis. Tak ada satu pun anggota keluarga yang peduli padanya. Aku kasihan, lalu kurawat sampai sekarang."
Hati Calvin tersentuh. Salut pada ketulusan Dinda merawat ibu tirinya. Inilah cinta yang tulus. Kasih tanpa syarat, tanpa tendensi. Entah mengapa, sesuatu yang lembut menyentuh hati Calvin. Wanita seperti inilah yang sesungguhnya ia cari. Bukan wanita cantik, berprestasi, dan sukses yang terlalu sibuk mengejar karier di luar sana.
"Kamu baik sekali, Dinda." puji Calvin lembut.
"Meski bukan ibu kandungmu, kamu mau merawat dan memberinya perhatian. Pahala dan kebaikan mengalir untukmu."
Ucapan Calvin membuat hati Dinda bergetar. Ia menengadah, menatap pria tinggi semampai dan rupawan di hadapannya. Mengapa hatinya bergetar?
** Â Â Â