Tak tahu harus menjawab apa. Calvin terdiam. Di satu sisi ia langsung merasa nyaman dengan wanita itu. Di sisi lain ia khawatir. Khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Khawatir mempercayai dan terbuka pada orang yang salah. Khawatir menyakiti Silvi, walaupun Silvi tak pernah ada untuknya.
"Ok, fine. Tak apa-apa kalau kamu tak mau cerita. Oh ya, namaku Dinda. Kamu?"
Uluran tangan itu hangat dan menenangkan. Calvin menerimanya, menyebutkan namanya. Dinda tersenyum manis.
"Calvin Wan? Nama yang bagus. Wait wait...sepertinya aku pernah baca namamu. Hmm...dimana ya?"
Sesaat Dinda mengingat-ingat. Lalu ia menepuk dahinya.
"Oh iya! Aku pernah baca tulisanmu! Kamu sering menulis di salah satu media jurnalisme warga yang masuk 10 besar platform digital terbesar, kan?"
Ternyata Dinda mengenalinya. Bahkan membaca tulisan-tulisannya. Kehangatan merayapi hati Calvin. Ada seorang wanita secantik dan sebaik Dinda yang memperhatikannya dari jauh, membaca artikel-artikelnya. Ini membuatnya merasa dicintai dan diinginkan. Silvi saja tidak pernah membaca tulisannya. Tanpa sadar ia membandingkan Silvi dengan Dinda.
** Â Â Â
Dalam balutan floral dress, Dinda nampak sangat cantik. Diam-diam Calvin mengagumi kecantikan Dinda. Mengerling wanita seumuran Silvi itu dari sudut mata.
Entah apa yang membuat Calvin mau diajak wanita itu ke sebuah ruang perawatan. Di ruangan itu, terbaring sesosok perempuan bertubuh kurus dengan rambut putih. Wajahnya pucat. Dari bibirnya terucap kata-kata yang tak begitu jelas.
"Perempuan itu ibu tiriku," ucap Dinda pelan.