Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Spesial] Mata Pengganti, Pembuka Hati: Jangan Minta Jatuh Cinta

14 Maret 2018   18:09 Diperbarui: 14 Maret 2018   18:13 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Punya kakak super tampan dan super baik memang menyenangkan. Tiap hari, ada saja kejutan dan hal baik yang bisa dipelajari darinya.

Seperti pagi ini. Mendadak Adica dan Syifa penasaran, mengapa Calvin tak segera turun dari lantai atas. Berulang kali mengecek arloji, mencemaskan waktu yang kian mepet, keduanya memutuskan menyusul ke atas. Bertanya-tanya dalam hati.

"Calvin, apa yang kaulakukan? Cuma mau ke kampus kok, bukan mau fashion show." desak Adica tak sabar. Di sisinya, Syifa berdiri gelisah seraya memutar-mutar ikat rambut berwarna biru dan berbulu di tangannya.

"Sorry..." Calvin bergegas menemui kedua adiknya. Tersenyum meminta pengertian, lalu membuka kulkas. Mengeluarkan sejumlah coklat dan makanan kecil lainnya. Memasukkannya ke dalam paperbag.

"Buat apa kamu bawa sebanyak itu? Memangnya mau jualan?"

Protes Adica hanya dibalas Calvin dengan senyuman misterius. Syifa mengerling isi paperbag itu. Sejurus kemudian Calvin menggandeng tangan Syifa. Berjalan menuruni tangga.

"Aku saja yang bawa mobil ya," tawar Calvin setiba di garasi.

"Big no. Minggu lalu, kamu baru keluar dari rumah sakit. Dan kemarin kamu habis bantu Papa di perusahaan. Pasti capek. Biar aku, Syifa, atau supir kita."

"Kamu lupa? Memaksa orang yang demam untuk menyetir itu menyakitkan. Kasihan...sudah, aku saja. Sini kunci mobilnya."

Mau apa lagi? Sekejap saja kunci mobil berpindah tangan. Calvin sungguh pengertian. Cepat tanggap dan inisiatiff. Lima menit berselang, Alphard hitam itu meluncur meninggalkan rumah.

**     

Anak-anak pengusaha kaya kuliah di kampus ternama. Itu hal biasa. Namun, menjadi tak biasa ketika ketiga anak pengusaha itu sengaja menutupi siapa mereka sebenarnya. Calvin, Adica, dan Syifa terbiasa low profile. Tak banyak menonjolkan latar belakang mereka.

Entah perkuliahan pertama ada atau tiada. Hingga lima belas menit berlalu, dosen belum juga datang atau mengonfirmasi kehadirannya. Praktis para mahasiswa mulai sibuk sendiri. Mengobrol, menyibukkan diri dengan gadget, berkunjung ke kelas sebelah, menemui kekasih atau teman berkedok cinta, bukan kegiatan-kegiatan baru lagi.

Kalau si anak tengah dan anak bungsu lain cerita. Mereka penyelundup ilegal. Masuk dengan sengaja ke departemen dan ruang kuliah tempat sang kakak berada. Ingin mengintip apa yang dilakukan kakaknya. Menaruh rasa ingin tahu pada isi paperbag yang dibawa kakak mereka.

Awalnya Calvin menyibukkan diri dengan menulis artikel di blognya. Sebuah artikel ringan tentang 3d printer yang bisa digunakan untuk membangun rumah. Menuliskan dan menayangkannya, ia menutup laptopnya. Membuka paperbag yang ia bawa.

"Calvin, apa itu?" tanya Aurelia, pemenang kontes putri kampus tahun lalu dengan penasaran.

Sebagai jawaban, pemuda tampan berdarah Tionghoa itu membagi-bagikan coklat, keripik kentang, dan beberapa makanan kecil lainnya. Seluruh teman-teman sekelasnya kebagian. Mereka semua excited, seperti kejatuhan rezeki.

"Calvin, kayaknya kamu kerasukan malaikat terus ya? Baik melulu sama kita. Thanks ya," komentar Hanna dan Septian. Dua mahasiswa ini tergolong berprestasi. Septian pemenang Mahasiswa Berprestasi tingkat nasional. Hanna peraih gelar duta wisata dan mantan gadis sampul.

"Wow...enak banget. Ini coklat asli ya? Pantesan enak. Pasti mahal. Calvin, makasih ya." Aurelia bicara lagi. Tersenyum puas setelah menghabiskan coklatnya.

Tersenyum saja, tak perlu bicara. Senang bisa berbagi, itulah yang Calvin rasakan. Bukan Calvin Wan namanya kalau tidak murah hati.

Di sudut, Adica dan Syifa lekat memperhatikan. Tersenyum bangga sambil mengangkat kedua ibu jari mereka. Sekarang tahulah mereka nasib coklat dan makanan kecil yang tersimpan di dalam paperbag. Kakak mereka memang baik hati. Jika berbagi, tak segan memberi yang paling baik.

"Calvin, ini enak banget. Pasti mahal."

"Benar ya. Harga membawa rupa."

Teman-teman lainnya tak segan melempar pujian. Kepuasan merayapi hati Calvin. Terlalu banyak makanan enak di rumah. Sayang sekali bila hanya dinikmati sendiri.

Di luar dugaan, Syifa beranjak bangkit. "Aku mau balik ke fakultas."

"Ngapain? Kan kuliah pertama dibatalkan," kata Adica keheranan.

"Mau beli pizza, trus aku bagikan ke teman-teman sekelas. Kakak mau ikut?"

Peluang bagus. Berbuat kebaikan di pagi hari. Adica bergegas mengikuti Syifa. Terinspirasi kebaikan Calvin.

**     

"What? Calvin bagi-bagi sesuatu ke kalian aja segitu senangnya..." Seorang pemuda berkacamata dan berambut keriting tertawa meremehkan.

"Lamsyihar...stop kenapa sih? Memangnya Calvin salah apa sama kamu? Calvin dan kedua adiknya jauh lebih baik dari kamu!" balas Aurelia, Hanna, dan Septian kesal.

Untungnya mereka duduk di barisan paling belakang. Dosen yang terlalu sibuk memberikan materi tak begitu memperhatikan tingkah mahasiswanya.

"Terserah. Tapi, hati-hati saja. Calvin baru-baru ini dapat award sebagai model pria dengan dagu terindah dari majalah fashion yang cukup ngetop. Dia juga terpilih jadi finalis duta budaya Tionghoa. Bisa-bisa dia punya tujuan tertentu. Minta vote misalnya." bisik pemuda itu tanpa perasaan.

"Keterlaluan. Kamu sentimen banget sama dia. Calvin nggak kayak gitu. Dia tulus, baik, ganteng lagi. Nggak kayak kamu. Kerjaannya iri terus sama dia. Kamu pernah bikin sakit hati, dengan terang-terangan bilang kalo kamu malas baca tulisannya yang ada kaitannya dengan agama itu...hmmmm."

Tanpa mereka sadari, Calvin mendengar semuanya. Marah? Tidak juga. Kecewa? Sama sekali tidak. Hanya tersenyum tipis dan berdoa. Begitulah Calvin. Tampan luar-dalam. Aneh sekali bila ada orang yang membbenci pemuda seperti dirinya.

Perkuliahan usai. Begitu keluar kelas, Calvin mendapat kejutan. Seorang wanita setengah baya yang masih sangat cantik berdiri menunggunya.

"Mama?" panggilnya tak percaya.

Nyonya Roselina tersenyum. Merentangkan lengan, memeluk putra sulungnya erat. Calvin balas memeluk Mamanya. Enam bulan tak bertemu, rindu membuncah pelan di dadanya.

"Akhirnya Mama pulang juga. Kenapa Mama lama sekali di Aussie?"

"Maaf, Calvin. Mama hanya ingin menenangkan diri."

Beberapa pasang mata tertuju pada mereka. Yang perempuan terkesan dan meleleh, yang lelaki membuang muka. Sebal bercampur iri. Sebuah paradoks.

Calvin dan Nyonya Roselina melangkah menuju lift. Orang-orang yang berpapasan dengan mereka tersenyum. Memberi sapaan. Mereka balas menyapa. Rasanya seperti kembali ke masa lalu. Ini juga kampus almamater Nyonya Roselina. Setiap koridor yang dilewati membiaskan lembar kenangan. Lantai yang dipijaki mengguratkan berbagai pengalaman masa lalu.

"Mama...miss you."

Itulah kata pertama yang diucapkan Syifa ketika melihat Nyonya Roselina. Ia dan Adica bergantian memeluk ibu kandung mereka itu.

"Kapan sampai, Ma?"

"Satu jam yang lalu, Sayang. Kita makan siang yuk. Mama kangen pizza di resto favorit kita."

Ajakan yang menarik. Tak layak ditolak.

**     

Jaga dulu jarak kita

Jika tak ingin akhirnya kau menangis lagi

Jangan terlalu kau dekat

Jangan buat terikat

Coba kaurasakan lagi

Mungkin kau dapat perannya

Tapi hanya sebagai bayang-bayangnya saja

Jangan minta jatuh cinta

Luka lamaku juga belum reda

Beri dulu aku waktu untuk sembuh sendirinya

Jangan minta jatuh cinta

Sakit sebelumnya masih kurasa

Beri aku waktu

Hingga aku mampu lupakan semua (Juicy Luicy-Tanpa Tergesa).

Alunan gitar akustik mengiringi suara barithon penyanyi cafe itu. Sebuah lagu yang sedang hits akhir-akhir ini dibawakan dengan memikat. Calvin sesekali memejamkan mata, menikmati lagu itu. Teringat masa-masa ketika ia menyamar sebagai penyanyi cafe.

"Kak Calvin lagi flashback ya?" goda Syifa, tersenyum nakal.

"Oh iya lupa...anak Mama kan ada yang pernah nyamar jadi penyanyi cafe." timpal Nyonya Roselina, tertawa kecil.

Tak ada ibu dan anak yang ingin berpisah terlalu lama. Maunya selalu bertemu. Kalaupun berpisah, momen melepas rindu selalu ditunggu-tunggu.

Setelah enam bulan berlalu, akhirnya Calvin, Adica, dan Syifa bertemu lagi dengan ibu mereka. Meretas kebersamaan. Bertukar cerita. Menebus kerinduan.

"Ma, kenapa Mama butuh waktu lama untuk menenangkan diri?" Adica setengah membujuk, setengah memaksa Mamanya menjawab pertanyaannya.

"Nak, menenangkan diri itu adalah bagian dari proses menerima kenyataan." sahut Nyonya Roselina sabar.

"Menerima kenyataan kalau Papa menikah lagi?" sela Syifa.

Nyonya Roselina mengangguk. Ketiga anaknya bertukar pandang penuh arti.

"Sudahlah," Calvin menengahi, lembut dan menenangkan.

"Tak bisakah kita memulai lembaran baru dan memaafkan?"

Potongan pizza di tangan Adica nyaris jatuh. Syifa mengangkat alisnya. Nyonya Roselina menatap lekat putra pertamanya.

"Iya," Calvin memperjelas ucapannya.

"Kita maafkan Papa dan wanita itu. Lalu kita buka lembaran baru."

"Kamu memaafkan Papa? Apa itu artinya kamu mendukung poligami?" tanya Adica marah.

"Aku tidak mendukung poligami. Kalaupun aku menikah, aku takkan pernah menduakan istriku. Namun aku membuka pintu maafku untuk Papa."

Lembutnya hati Calvin memagut hati Syifa dan Nyonya Roselina dalam kekaguman. Calvin Wan, blogger super tampan itu, murah hati dan pemaaf. Ada kelembutan dalam hatinya.

"Makanya, jangan minta jatuh cinta. Kalau akhirnya toh diduakan juga." tukas Adica skeptis.

"Tak ada yang pernah minta jatuh cinta, Adica. Hati kita yang memilih dan memutuskan." koreksi Calvin sabar.

**     

Malamnya, Calvin merenungi kata-kata Adica. Jangan minta jatuh cinta. Tidak, tidak pernah ada yang meminta jatuh cinta. Hati yang memilih, hati yang memutuskan.

Kita tak bisa memilih akan jatuh cinta dengan siapa. Lama terbawa dalam perenungan, perhatian Calvin teralih oleh rasa sakit. Perut bagian bawahnya sakit sekali.

Seraut wajah tampan itu memias. Di balkon kamarnya, Calvin menahan rasa sakitnya sendirian. Siapa pun tak perlu tahu. Kebahagiaan boleh dibagi, tetapi kesedihan dan kesakitan biarlah disimpan sendiri.

Darah segar mengalir dari hidungnya. Pintu balkon bergeser terbuka. Tubuhnya serasa membeku. Terlambat untuk menyembunyikan semuanya. Calvin terbatuk. Lebih banyak lagi darah mengalir.

Sepasang tangan memapahnya. Membawanya pergi. Menguatkannya, hadir di saat ia bertekad tidak membagi rasa sakitnya pada siapa pun. Siapakah pemilik tangan itu?

**     


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun