"Aku tidak mendukung poligami. Kalaupun aku menikah, aku takkan pernah menduakan istriku. Namun aku membuka pintu maafku untuk Papa."
Lembutnya hati Calvin memagut hati Syifa dan Nyonya Roselina dalam kekaguman. Calvin Wan, blogger super tampan itu, murah hati dan pemaaf. Ada kelembutan dalam hatinya.
"Makanya, jangan minta jatuh cinta. Kalau akhirnya toh diduakan juga." tukas Adica skeptis.
"Tak ada yang pernah minta jatuh cinta, Adica. Hati kita yang memilih dan memutuskan." koreksi Calvin sabar.
** Â Â Â
Malamnya, Calvin merenungi kata-kata Adica. Jangan minta jatuh cinta. Tidak, tidak pernah ada yang meminta jatuh cinta. Hati yang memilih, hati yang memutuskan.
Kita tak bisa memilih akan jatuh cinta dengan siapa. Lama terbawa dalam perenungan, perhatian Calvin teralih oleh rasa sakit. Perut bagian bawahnya sakit sekali.
Seraut wajah tampan itu memias. Di balkon kamarnya, Calvin menahan rasa sakitnya sendirian. Siapa pun tak perlu tahu. Kebahagiaan boleh dibagi, tetapi kesedihan dan kesakitan biarlah disimpan sendiri.
Darah segar mengalir dari hidungnya. Pintu balkon bergeser terbuka. Tubuhnya serasa membeku. Terlambat untuk menyembunyikan semuanya. Calvin terbatuk. Lebih banyak lagi darah mengalir.
Sepasang tangan memapahnya. Membawanya pergi. Menguatkannya, hadir di saat ia bertekad tidak membagi rasa sakitnya pada siapa pun. Siapakah pemilik tangan itu?
** Â Â Â