"Aku sudah menganggap Calvin seperti anakku sendiri," jawab Dokter Rustian.
"Hanya itu? Kamu perhatian sekali padanya, Tian. Kalah dariku. Di depanmu, rasanya aku ayah yang buruk. Aku terlalu sibuk, nyaris tak punya waktu untuk Calvin. Sementara kamu selalu ada untuknya."
Tuan Effendi setengah mengeluh, setengah bersedih. Ia menghela nafas berat, bersandar ke sofa. Sejurus kemudian Dokter Rustian menepuk pundaknya.
"Kamu ayah yang baik, Effendi. Hanya kurang waktu. Sebaik apa pun diriku, takkan bisa menggantikan posisimu di hati Calvin. Ayah kandung tetaplah ayah kandung." hibur Dokter Rustian.
"Aku menyesal, Tian. Mengapa tak pernah ada di saat Calvin terpuruk? Dulu, waktu pertama kali divonis kanker, aku ada di Aussie. Sekarang ketika dia terpuruk setelah mengetahui istrinya mengalami pelecehan seksual saat beribadah Haji, aku pun tak ada di dekatnya..." Tuan Effendi melepas kacamatanya, mengusap ujung mata.
"Tidak ada kata terlambat."
** Â Â Â
Percakapan dua ayah yang tak lagi muda itu terputus. Calvin terbangun tetiba. Ia terbangun karena rasa sakit. Setengah sadar ia menyebut nama Silvi.
Tuan Effendi dan Dokter Rustian buru-buru mendekat. Memeriksa keadaannya. Menenangkannya. Menjaga orang sakit butuh kesabaran dan waktu ekstra.
"Calvin Wan anakku yang paling istimewa...dalam keadaan sakit, masih mengingat orang lain. Bukan dirinya sendiri." desah Tuan Effendi.
"Itulah sebabnya aku menyayanginya. Mungkin itu juga sebabnya putriku sangat mencintainya. Walau tak bisa memiliki." Dokter Rustian menimpali, tersenyum muram.