Sebagai suami saleh dan sempurna, Calvin selalu ada di samping Silvi. Memberi penguatan padanya. Berupaya mengembalikan semangat hidupnya. Menyembuhkan kepedihan dan luka hatinya.
Calvin membacakan buku-buku favorit Silvi. Mengajaknya bermain piano dan bernyanyi bersama. Membantunya merawat bunga lily kesayangannya. Menceritakan banyak hal. Membuatkan milkshake, cream soup, dan makanan-makanan kesukaan Silvi lainnya.
"Silvi, you know I love you." ucap Calvin tulus itu. Merangkul Silvi hangat. Menuntunnya ke balkon.
Sebentar lagi mentari terbenam. Gradasi merah keunguan melukis langit. Bersama-sama mereka berdua memandangi keindahan senja dari teras indah berlantai terakota itu.
"Love you too. Tapi aku tidak lagi bersih. Aku bukan istri yang baik." balas Silvi.
"Sssttt...." Calvin meletakkan telunjuknya di bibir Silvi.
"Kamu wanita yang paling kucintai. Dirimu tak akan terganti. Bagaimana pun keadaanmu."
"Tapi kita berbeda, Calvin. Keadaan kita sudah berbeda. Dulu, waktu membuat perjanjian pranikah, kamu berjanji tidak menyentuhku. Kamu tahu aku sangat takut seks. Dan aku pun membencinya sampai sekarang. Ironisnya, aku disentuh laki-laki lain yang bukan suamiku. Aku disentuh oleh entah siapa, pencari kenikmatan yang menganggapku sebagai boneka seksnya. Aku diperdaya saat beribadah Haji. Sedangkan aku tahu bagaimana keadaanmu. Kamu..."
"Sakit kanker, tidak bisa punya keturunan, dan tidak sekuat pria-pria lainnya." sela Calvin lirih.
Mata Silvi berkaaca-kaca. "Oh Dear, aku tak bermaksud begitu."
"Kenyataan, Silvi. Tak apa-apa."