Pegiat sosial dan literasi berparas tampan itu menerima tamu ketiga di kantornya. Seorang wanita berambut sebahu tersedu saat melangkah masuk ke kantornya. Air mata meleleh di pipi, mengisyaratkan kesedihan mendalam.
"Aku sudah dinodai. Berada di rumah ibadah ternyata tak menjamin keamanan seorang wanita," isaknya pilu.
"Calvin, salahkah aku menceritakan hal itu di sosial media dengan tagar 'MeToo'?"
Pria Tionghoa yang dipanggil Calvin itu menatap tamu ketiganya lembut. Satu tangannya mengulurkan selembar tissue.
"Tidak salah. Kamu berhak memberitakan itu. Sama seperti wanita-wanita lainnya yang senasib denganmu."
Tangis si wanita terus terdengar. Ia mengentakkan kakinya ke karpet. Marah bercampur sedih.
"Semuanya sama saja. Di gereja, di masjid, di vihara, di semua rumah ibadah...praktik-praktik pelecehan seksual tumbuh subur! Wanita selalu jadi korban!"
Dengan sabar, Calvin menenangkan wanita itu. Berusaha mengobati kesedihan korban pelecehan seksual di rumah ibadah yang telah berani bercerita. Ia memuji keberanian si wanita. Tidak semua wanita berani mengungkapkannya. Biasanya para korban dicengkeram ketakutan terlalu besar. Takut pada pemuka agama yang melecehkan mereka, takut merusak kehormatan agama yang mereka peluk, dan takut merugikan pihak-pihak tertentu.
"Agama dan kekuasaan bukan alasan untuk melakukan pelecehan seksual pada wanita." kata Calvin lembut, mengakhiri sesi konseling dan motivasinya.
Ketika wanita berambut sebahu itu meninggalkan kantor satu jam kemudian, wajahnya berangsur cerah. Ia telah menemukan ketenangan. Dalam hati Calvin bersyukur.
Tak mengapa jadwal pekerjaannya di perusahaan keluarga sedikit terganggu. Kedatangan para korban yang mempercayakan rahasia padanya, yang memperoleh sedikit ketenangan batin setelah datang ke kantornya, adalah kebahagiaan tersendiri. Terganggu? Sama sekali tidak. Justru hidupnya terasa lebih berguna.