Sepasang kaki berlari mengejar. Pelataran rumah sakit dijejaki dua pria tampan berdarah Tionghoa. Satunya berjas dark brown, satunya lagi memakai jas hitam.
"Calvin, stop. Biar aku saja. Jangan nekat." cegah Adica setengah jengkel. Merebut kunci mobil dari tangan kakak semata wayangnya.
"It's a quarter eight, Adica. Urgen. Dia pasti marah sekali." Calvin sabar menjelaskan seraya melirik cemas arlojinya.
Adica menghentakkan kakinya kesal. Menatap Calvin frustrasi.
"Cinta boleh saja, tapi kesehatanmu lebih penting!" hardiknya.
"Kamu tahu...ini sangat penting untukku." Calvin bergumam lirih. Bersandar ke mobilnya, bersiap membuka pintu.
"Ok ok fine! Minggir!"
Pintu Alphard hitam itu terbuka. Seulas senyum tipis terlukis di wajah pucat Calvin. Segalak dan sekeras apa pun, rasa sayang Adica menang.
"Duduk di sampingku! Aku bukan supirmu!" bentak si anak tengah galak.
"Iya, Tuan Adica. Terima kasih ya." kata Calvin halus.
Mobil meluncur meninggalkan halaman rumah sakit. Calvin bersandar di tempat duduknya. Merasakan dinginnya udara menyerbu lengan dan kakinya. Sakit di pinggang dan perut bagian bawahnya menusuk tajam. Sesungguhnya ini perjalanan yang berat untuknya.
"Makanya, hati-hati kalau bicara sama dia. Lagian ngapain sih kamu bawa-bawa dia waktu lunch sama klien bisnismu?" tegur Adica.
"Aku memang ingin mengajaknya. Dia juga senang pergi bersamaku. Klienku sama senangnya. Dia bilang, Silvi cantik. Cocok untukku. Lalu kugoda dia. Kukatakan kalau Silvi sebenarnya gadis bandel dan keras kepala...yah, jadinya begitu."
"Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan setolol itu mengatakannya."
Sesal, itulah yang Calvin rasakan. Perjamuan antar para pengusaha sukses yang membawa petaka. Silvi, gadis cantik blasteran Sunda-Inggris itu, marah besar. Hanya karena dua kalimat. Ini membuktikan bahwa Calvin harus ekstra hati-hati.
Perjalanan masih jauh. Jarak antara rumah sakit dan butik sekitar satu setengah jam lagi. Separuh perjalanan pun belum ada. Seraya menyetir, Adica sesekali melirik khawatir ke arah kakaknya.
"Tidurlah. Nanti kubangunkan kalau sudah sampai. Atau kamu mau makan? Sejak acara itu, kamu nyaris belum makan apa-apa." Adica berkata, tak dapat menutupi kecemasannya.
Calvin menolak halus. Ia tidak lapar. Perutnya justru mual setelah acara dan dilanjutkan medical check up itu. Ginjalnya terasa sakit sekali.
"Besarnya cinta mengalahkan ego..." bisik Adica. Melempar pandang penuh arti.
Kemacetan menghadang. Kendaraan-kendaraan padat tak bergerak. Beberapa membunyikan klakson dengan buas. Adica dan Calvin menunggu dengan sabar.
Keadaan mulai mengkhawatirkan lagi. Wajah tampan itu bertambah pias. Sepasang tangannya terlipat di atas perutnya. Pancaran kesakitan terlihat jelas di mata beningnya. Adica waswas. Sungguh, ia takut terjadi sesuatu yang buruk.
"Calvin, apa sebaiknya kita..."
"Tidak, kita harus teruskan. No worries."
Susahnya punya kakak keras kepala. Jika sudah punya tekad, Calvin takkan surut langkah.
Samar, di sela alunan lagu-lagu Brian Adams, Adica dapat mendengar suara lembut lain menggumamkan zikir. Suara bass bertimbre berat yang empuk dan merdu. Jika Calvin menggumamkan zikir seperti itu, tandanya ia merasakan kesedihan dan kesakitan. Adica sudah hafal. Ia hanya bisa berdoa memintakan kekuatan.
Sesal di hati Calvin berbaur dengan kesedihan. Seharusnya ia lebih hati-hati. Tidak gegabah. Candaannya menyakiti hati Silvi. Apa lagi pengusaha-pengusaha sukses dan kaya itu tertawa dibuatnya. Jelas Silvi makin tersakiti. Seakan Calvin mempermalukannya dan mengiranya hanya ingat hal-hal buruk tentangnya.
Titik-titik hujan berjatuhan. Tetes dinginnya mengambang di kaca mobil. Hujan, Silvi sangat menyukainya. Calvin serasa terlempar dalam deja vu. Mungkinkah akan terjadi lagi?
Tanda tanya di hatinya buyar seketika. Sakit ginjalnya makin tak tertahankan. Sedetik kemudian...
Tes.
Bukan hanya hujan yang menetes. Darah segar menetes dari hidungnya.
** Â Â Â
"Pulanglah, Syifa." kata Silvi.
"Pulang?" Syifa mengangkat kedua alisnya.
"Aku takkan pulang sampai perasaanmu lebih baik."
Jawaban Silvi disambuti desahan kesal Silvi. Dibantingnya berkas-berkas ke meja kerja. Kilat kemarahan menyala di matanya.
"Perasaanku takkan membaik sampai kakakmu yang bodoh itu datang meminta maaf!" serunya marah.
Ruang kerja di lantai dua butik megah itu senyap. Hanya desis air conditioner yang terdengar. Syifa mengamati Silvi dari ekor matanya. Hatinya sedih. Apa pun yang dilakukan Calvin, nampaknya tak pernah mengena di hati Silvi.
"Kakakku sangat mencintaimu, Silvi." desis Syifa.
"Itu menurutmu. Pria mana yang mempermalukan wanita yang dicintainya di depan para pengusaha? Kurasa dia hanya ingin mempermainkanku." Silvi membantah ucapan Syifa.
Gadis bergaun hitam itu mengacak-acak meja kerjanya. Menarik lepas kunciran rambutnya. Ia belum berganti pakaian sejak tadi siang. Mood-nya hancur.
"Oh Silvi...please stop it. Kau memberantaki meja kerja dan rambutmu. Sini aku kuncirkan lagi rambutmu."
Bujukan Syifa tak digubrisnya. Dalam hati Silvi mulai kesal dan bertanya-tanya. Kakak-beradik sama saja. Sok lembut, sok alim dari luar. Padahal, di dalamnya entah munafik atau tidak.
"Kenapa kamu mau menemaniku? Pulanglah, Syifa. Bukankah besok kamu harus ke airport pagi-pagi?" usir Silvi.
"Nope. Kalau perlu, malam ini aku menginap saja. Urusan perjalanan bisnis ke Aussie gampang." sahut Syifa singkat.
Silvi mengangkat dagu dengan sombong. Berjalan berputar-putar. Menabrak beberapa benda, tak peduli lagi. Syifa tetap sabar. Dibandingkan Adica, Syifa jauh lebih mirip Calvin. Sabarnya, lembutnya, salehnya, halusnya, kalemnya, dan baik hatinya.
"Silvi, ke bawah yuk. Kita makan pizza." ajak Syifa tetiba.
Tanpa kata, Silvi membuka pintu. Berjalan paling depan menuruni tangga. Memain-mainkan ikat rambut berwarna biru awan berhiaskan bulu dengan marah.
Mereka tiba di lantai bawah. Butik masih ramai dipenuhi pengunjung. Mau tak mau Silvi excited melihat baju-bajunya disukai banyak pembeli. Kerja kerasnya tidak sia-sia.
Dua meter dari pintu kaca, langkah mereka terhenti. Sebuah Alphard hitam meluncur mulus memasuki halaman butik. Plat mobilnya sangat familiar.
"Oh my God...Kak Calvin, Kak Adica?" Syifa menekap wajahnya, lalu berlari pergi. Menghilang di balik manekin. Sudah kuduga, batin gadis itu penuh perasaan.
Dari dalam mobil, keluarlah Calvin dan Adica. Keduanya berjalan cepat lalu membuka pintu kaca. Silvi terperangah seperti melihat dua alien di butiknya.
** Â Â Â Â
Ada cinta yang sejati
Ada sayang yang abadi
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap kau milikku (Isyana Sarasvati-Masih Berharap).
** Â Â Â
Calvin melangkah memasuki butik dengan wajah pucat. Walau pucat, hal itu tidak mengurangi ketampanannya. Ia berjalan tegap menghampiri Silvi. Satu tangannya membawa sebuket lily putih dan dua batang coklat kesukaannya.
"Maafkan aku, Silvi."
Tepat di depan Silvi, Calvin berhenti. Wajah tampannya menampakkan ekspresi penyesalan paling mendalam.
"Aku tidak pernah bermaksud menyinggung dan menyakiti perasaanmu."
Diserahkannya bunga dan coklat itu ke tangan Silvi. Sejurus kemudian Silvi merebutnya kasar. Melempar buket bunga itu ke tempat sampah. Merobek bungkus coklat, menjatuhkan isinya ke lantai, dan menginjaknya dengan ujung lancip sepatunya.
Sakit hatikah Calvin melihat barang-barang pemberiannya dibuang dan diremukkan? Tidak. Blogger, pengusaha, dan model super tampan itu tetap sabar. Wajah lembutnya tak memancarkan segores pun amarah.
"Kamu munafik! Hanya mengingat yang buruk tentangku! Seharusnya, apa yang buruk jadi rahasia kita berdua saja!" ucap Silvi geram.
"I'm so sorry, Silvi. Sungguh, aku sama sekali tak bermaksud menyakitimu. Aku hanya..."
"Oh, kamu malu membawaku di acara itu? Karena tadi ada Fatima? Begitu, kan? Fatima yang cantik, yang bisa menulis lebih baik dariku, perempuan cantik yang membuatku cemburu! Perempuan yang selalu melirikmu! Nikahi saja dia, lalu lupakan aku!"
Nada suara Silvi meninggi menjadi teriakan. Para pengunjung butik tersedot perhatiannya. Menatap Calvin dan Silvi ingin tahu. Dikiranya ada pertengkaran melodrama sepasang kekasih.
"Aku tidak pernah menyukai Fatima, Silvi." Calvin menjelaskan, sesabar dan selembut mungkin.
"Mengapa tak suka? Dia cantik, baik, berprestasi, tulisan dan buku-bukunya jauh lebih bagus dariku...nikahi saja dia! Sudah kubilang, kan? Aku tidak akan menikah dengan siapa pun! Bukankah aku wanita kasar, dingin, pemurung, dan hanya bisa menyusahkan orang lain?!"
Di depan banyak orang, Silvi memarahi Calvin. Membentaknya, memakinya munafik, dan melukai hatinya. Hati Calvin berdarah. Kini ia benar-benar sedih.
"Tidak begitu, Silvi. Siapa bilang kamu hanya bisa menyusahkan?" ujar Calvin, tetap lembut. Sungguh-sungguh sabar dan lembut.
Tidakkah Silvi luluh? Ternyata tidak. Gadis cantik itu membuang muka. Berdiri bertelekan pinggang. Kedua mata birunya menatap Calvin tanpa kedip. Seolah ingin melubangi dada dan hati pria itu lewat tatapannya.
"Aku benci orang munafik! Kamu hanya berpura-pura mencintaiku! Padahal di hatimu hanya ada rasa kasihan! Pergilah, lupakan aku!"
Bila Silvi pikir Calvin akan mundur, nyatanya tidak. Calvin berlutut. Memegang lembut tangan Silvi. Menatapnya penuh ketulusan.
"Silvi Mauriska, saya, Calvin Wan, berjanji padamu. Saya temani kamu selama sisa hidup."
Janji setulus itu, Silvi tak juga percaya. Ia membalikkan tubuh, lalu melangkah menaiki tangga ke lantai dua. Tak boleh ada yang melihat cairan bening di manik matanya.
Calvin mengejar Silvi. Meraih lengan gadis itu, memutar tubuhnya dengan lembut.
"Sisa hidup yang mungkin takkan lama..." bisik Calvin, setulus hati.
"Akan kulewati bersamamu."
Kerasnya hati Silvi tergoyahkan. Ia limbung, lalu rebah dalam pelukan Calvin. Kedua tangan Calvin membelai rambutnya.
"Relakah kamu begini terus selama sisa hidupmu?" lirih Silvi.
"Selama aku mampu, mengapa tidak?" balas Calvin lembut.
"Buat apa merelakan sisa hidup untuk menemani gadis bodoh, kesepian, kasar, dan nyaris buta sepertiku? Aku tidak berguna."
"Tidak, Silvi. Dan aku rela bila itu harus terjadi."
Di puncak tangga, terdengar seseorang terisak tertahan. Syifa telah pindah posisi. Ia ditarik paksa oleh Adica dari balik manekin. Diseret paksa ke lantai dua. Alhasil Adica dan Syifa mengawasi adegan penuh cinta itu dari atas.
"Kaulihat? Kakak kita yang bodoh itu sudah terbutakan cinta? Harusnya dia menikahi wanita lain. Tak usah repot-repot menghabiskan sisa hidupnya untuk menemani Silvi. Silvi yang cantik, Silvi yang tidak bisa melupakan biarawan itu hingga tak ingin menikah." Adica berkomentar tajam.
Dalam pelukan Silvi, rasa sakit itu datang lagi. Berusaha menahannya, tapi tak bisa. Calvin batuk darah. Tak sengaja menodai gaun cantik berpotongan mewah yang dikenakan Silvi dengan darahnya.
** Â Â Â
Pukul tiga pagi, Silvi terbangun. Sudah beberapa hari ini ia menginap di butik. Bergegas keluar dari ruang kerjanya, dilihatnya Calvin masih ada di sana. Silvi tertegun.
"Tak ada yang menyuruhmu tinggal," Silvi bergumam pada dirinya sendiri.
Terlihat sosok tampan berpostur tinggi itu tengah shalat Tahajud dengan khusyuk. Takbiratul ihram, berdiri tegak walau terkadang ia kesakitan, ruku', dan sujud. Silvi berdiri terpaku mengawasinya.
Dari jarak aman, ia memperhatikan Calvin lekat. Pria yang lahir di awal dua belas itu nampak semakin rupawan. Wajahnya memikat, memancarkan pesona. Tipikal wajah yang sering tersiram air wudhu. Tak puas-puas Silvi memandangnya.
Sesibuk apa pun, Calvin tidak pernah meninggalkan shalat. Tangan dan wajahnya ia hadapkan pada Illahi. Bukan mendoakan kesembuhan diri sendiri, melainkan mendoakan orang-orang lain.
"Mendoakan orang lain akan melembutkan hati," Calvin pernah berpesan pada Silvi suatu hari.
Rakaat kedua, Calvin terlihat lebih kesulitan lagi menahan rasa sakit. Namun dia tetap berdiri. Teguh menjalankan ibadah sunnahnya. Silvi trenyuh. Apakah kondisi Calvin sudah separah itu?
Hatinya tak tega. Dialihkannya tatapan. Tak sengaja pandangannya tertumbuk pada sebentuk tab yang tergeletak di sofa. Perangkat elektronik itu masih menyala. Pasti Calvin lupa mematikannya. Diambilnya tab itu, bermaksud mematikan.
Ikon e-mail yang terbuka menarik perhatian. Manusia tak luput dari rasa ingin tahu. Aplikasi e-mail terbuka lebar. Memperlihatkan barisan pesan antara Calvinwan912@gmail.com dengan pengacaranya. Pesan terakhir paling bawah membuat jantung Silvi nyaris berhenti berdetak.
"Tolong urus secepatnya. Saya ingin surat wasiat itu selesai minggu depan. Anda boleh tertawa. Tapi keputusan saya sudah final. Setengah harta kekayaan saya milik wanita yang saya cintai. Setengah lainnya...yah, Anda tahu sendirilah harus diberikan ke yayasan kanker yang mana. Oh ya, pastikan dia tak usah tahu siapa yang telah memajukan butiknya selama dua tahun ke belakang. Time to read. Ini waktunya saya bacakan buku untuk dia."
Silvi menahan nafas. Matanya berkaca-kaca. Ingin rasanya menghambur ke pelukan pria yang tengah beribadah khusyuk tak jauh darinya itu. Terungkaplah apa yang terjadi. Berbagai kemudahan yang didapatnya selama mengurus butik. Kemampuannya membeli tempat di lokasi strategis di bagian utara ibu kota, satu daerah dengan rumah putra pertama konglomerat Tionghoa itu. Omset yang terus naik, keuntungan meningkat hingga 80%. Terungkap, semuanya terungkap. Calvin Wan, pria berwajah tampan, berhati seindah wajahnya, telah bergerak di belakang layar untuknya.
** Â Â Â Â
Paris van Java, 26 Februari 2018
Tulisan cantik, hasil dari keraguan dan sakit hati.
Kompasianer, adakah pria yang begitu rela sisa hidupnya dihabiskan untuk menemani seorang gadis tidak berguna? Apakah itu bentuk kebodohan, dusta, atau kasih? Young Lady cantik tak semudah itu percaya. Yakinkan Young Lady, Kompasianers.
** Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=fp0hIhv_3Oo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H