Nada suara Silvi meninggi menjadi teriakan. Para pengunjung butik tersedot perhatiannya. Menatap Calvin dan Silvi ingin tahu. Dikiranya ada pertengkaran melodrama sepasang kekasih.
"Aku tidak pernah menyukai Fatima, Silvi." Calvin menjelaskan, sesabar dan selembut mungkin.
"Mengapa tak suka? Dia cantik, baik, berprestasi, tulisan dan buku-bukunya jauh lebih bagus dariku...nikahi saja dia! Sudah kubilang, kan? Aku tidak akan menikah dengan siapa pun! Bukankah aku wanita kasar, dingin, pemurung, dan hanya bisa menyusahkan orang lain?!"
Di depan banyak orang, Silvi memarahi Calvin. Membentaknya, memakinya munafik, dan melukai hatinya. Hati Calvin berdarah. Kini ia benar-benar sedih.
"Tidak begitu, Silvi. Siapa bilang kamu hanya bisa menyusahkan?" ujar Calvin, tetap lembut. Sungguh-sungguh sabar dan lembut.
Tidakkah Silvi luluh? Ternyata tidak. Gadis cantik itu membuang muka. Berdiri bertelekan pinggang. Kedua mata birunya menatap Calvin tanpa kedip. Seolah ingin melubangi dada dan hati pria itu lewat tatapannya.
"Aku benci orang munafik! Kamu hanya berpura-pura mencintaiku! Padahal di hatimu hanya ada rasa kasihan! Pergilah, lupakan aku!"
Bila Silvi pikir Calvin akan mundur, nyatanya tidak. Calvin berlutut. Memegang lembut tangan Silvi. Menatapnya penuh ketulusan.
"Silvi Mauriska, saya, Calvin Wan, berjanji padamu. Saya temani kamu selama sisa hidup."
Janji setulus itu, Silvi tak juga percaya. Ia membalikkan tubuh, lalu melangkah menaiki tangga ke lantai dua. Tak boleh ada yang melihat cairan bening di manik matanya.
Calvin mengejar Silvi. Meraih lengan gadis itu, memutar tubuhnya dengan lembut.