Pukul tiga pagi, Silvi terbangun. Sudah beberapa hari ini ia menginap di butik. Bergegas keluar dari ruang kerjanya, dilihatnya Calvin masih ada di sana. Silvi tertegun.
"Tak ada yang menyuruhmu tinggal," Silvi bergumam pada dirinya sendiri.
Terlihat sosok tampan berpostur tinggi itu tengah shalat Tahajud dengan khusyuk. Takbiratul ihram, berdiri tegak walau terkadang ia kesakitan, ruku', dan sujud. Silvi berdiri terpaku mengawasinya.
Dari jarak aman, ia memperhatikan Calvin lekat. Pria yang lahir di awal dua belas itu nampak semakin rupawan. Wajahnya memikat, memancarkan pesona. Tipikal wajah yang sering tersiram air wudhu. Tak puas-puas Silvi memandangnya.
Sesibuk apa pun, Calvin tidak pernah meninggalkan shalat. Tangan dan wajahnya ia hadapkan pada Illahi. Bukan mendoakan kesembuhan diri sendiri, melainkan mendoakan orang-orang lain.
"Mendoakan orang lain akan melembutkan hati," Calvin pernah berpesan pada Silvi suatu hari.
Rakaat kedua, Calvin terlihat lebih kesulitan lagi menahan rasa sakit. Namun dia tetap berdiri. Teguh menjalankan ibadah sunnahnya. Silvi trenyuh. Apakah kondisi Calvin sudah separah itu?
Hatinya tak tega. Dialihkannya tatapan. Tak sengaja pandangannya tertumbuk pada sebentuk tab yang tergeletak di sofa. Perangkat elektronik itu masih menyala. Pasti Calvin lupa mematikannya. Diambilnya tab itu, bermaksud mematikan.
Ikon e-mail yang terbuka menarik perhatian. Manusia tak luput dari rasa ingin tahu. Aplikasi e-mail terbuka lebar. Memperlihatkan barisan pesan antara Calvinwan912@gmail.com dengan pengacaranya. Pesan terakhir paling bawah membuat jantung Silvi nyaris berhenti berdetak.
"Tolong urus secepatnya. Saya ingin surat wasiat itu selesai minggu depan. Anda boleh tertawa. Tapi keputusan saya sudah final. Setengah harta kekayaan saya milik wanita yang saya cintai. Setengah lainnya...yah, Anda tahu sendirilah harus diberikan ke yayasan kanker yang mana. Oh ya, pastikan dia tak usah tahu siapa yang telah memajukan butiknya selama dua tahun ke belakang. Time to read. Ini waktunya saya bacakan buku untuk dia."
Silvi menahan nafas. Matanya berkaca-kaca. Ingin rasanya menghambur ke pelukan pria yang tengah beribadah khusyuk tak jauh darinya itu. Terungkaplah apa yang terjadi. Berbagai kemudahan yang didapatnya selama mengurus butik. Kemampuannya membeli tempat di lokasi strategis di bagian utara ibu kota, satu daerah dengan rumah putra pertama konglomerat Tionghoa itu. Omset yang terus naik, keuntungan meningkat hingga 80%. Terungkap, semuanya terungkap. Calvin Wan, pria berwajah tampan, berhati seindah wajahnya, telah bergerak di belakang layar untuknya.