"Makanya, hati-hati kalau bicara sama dia. Lagian ngapain sih kamu bawa-bawa dia waktu lunch sama klien bisnismu?" tegur Adica.
"Aku memang ingin mengajaknya. Dia juga senang pergi bersamaku. Klienku sama senangnya. Dia bilang, Silvi cantik. Cocok untukku. Lalu kugoda dia. Kukatakan kalau Silvi sebenarnya gadis bandel dan keras kepala...yah, jadinya begitu."
"Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan setolol itu mengatakannya."
Sesal, itulah yang Calvin rasakan. Perjamuan antar para pengusaha sukses yang membawa petaka. Silvi, gadis cantik blasteran Sunda-Inggris itu, marah besar. Hanya karena dua kalimat. Ini membuktikan bahwa Calvin harus ekstra hati-hati.
Perjalanan masih jauh. Jarak antara rumah sakit dan butik sekitar satu setengah jam lagi. Separuh perjalanan pun belum ada. Seraya menyetir, Adica sesekali melirik khawatir ke arah kakaknya.
"Tidurlah. Nanti kubangunkan kalau sudah sampai. Atau kamu mau makan? Sejak acara itu, kamu nyaris belum makan apa-apa." Adica berkata, tak dapat menutupi kecemasannya.
Calvin menolak halus. Ia tidak lapar. Perutnya justru mual setelah acara dan dilanjutkan medical check up itu. Ginjalnya terasa sakit sekali.
"Besarnya cinta mengalahkan ego..." bisik Adica. Melempar pandang penuh arti.
Kemacetan menghadang. Kendaraan-kendaraan padat tak bergerak. Beberapa membunyikan klakson dengan buas. Adica dan Calvin menunggu dengan sabar.
Keadaan mulai mengkhawatirkan lagi. Wajah tampan itu bertambah pias. Sepasang tangannya terlipat di atas perutnya. Pancaran kesakitan terlihat jelas di mata beningnya. Adica waswas. Sungguh, ia takut terjadi sesuatu yang buruk.
"Calvin, apa sebaiknya kita..."