"Aku takkan pulang sampai perasaanmu lebih baik."
Jawaban Silvi disambuti desahan kesal Silvi. Dibantingnya berkas-berkas ke meja kerja. Kilat kemarahan menyala di matanya.
"Perasaanku takkan membaik sampai kakakmu yang bodoh itu datang meminta maaf!" serunya marah.
Ruang kerja di lantai dua butik megah itu senyap. Hanya desis air conditioner yang terdengar. Syifa mengamati Silvi dari ekor matanya. Hatinya sedih. Apa pun yang dilakukan Calvin, nampaknya tak pernah mengena di hati Silvi.
"Kakakku sangat mencintaimu, Silvi." desis Syifa.
"Itu menurutmu. Pria mana yang mempermalukan wanita yang dicintainya di depan para pengusaha? Kurasa dia hanya ingin mempermainkanku." Silvi membantah ucapan Syifa.
Gadis bergaun hitam itu mengacak-acak meja kerjanya. Menarik lepas kunciran rambutnya. Ia belum berganti pakaian sejak tadi siang. Mood-nya hancur.
"Oh Silvi...please stop it. Kau memberantaki meja kerja dan rambutmu. Sini aku kuncirkan lagi rambutmu."
Bujukan Syifa tak digubrisnya. Dalam hati Silvi mulai kesal dan bertanya-tanya. Kakak-beradik sama saja. Sok lembut, sok alim dari luar. Padahal, di dalamnya entah munafik atau tidak.
"Kenapa kamu mau menemaniku? Pulanglah, Syifa. Bukankah besok kamu harus ke airport pagi-pagi?" usir Silvi.
"Nope. Kalau perlu, malam ini aku menginap saja. Urusan perjalanan bisnis ke Aussie gampang." sahut Syifa singkat.