Sepasang kaki berlari mengejar. Pelataran rumah sakit dijejaki dua pria tampan berdarah Tionghoa. Satunya berjas dark brown, satunya lagi memakai jas hitam.
"Calvin, stop. Biar aku saja. Jangan nekat." cegah Adica setengah jengkel. Merebut kunci mobil dari tangan kakak semata wayangnya.
"It's a quarter eight, Adica. Urgen. Dia pasti marah sekali." Calvin sabar menjelaskan seraya melirik cemas arlojinya.
Adica menghentakkan kakinya kesal. Menatap Calvin frustrasi.
"Cinta boleh saja, tapi kesehatanmu lebih penting!" hardiknya.
"Kamu tahu...ini sangat penting untukku." Calvin bergumam lirih. Bersandar ke mobilnya, bersiap membuka pintu.
"Ok ok fine! Minggir!"
Pintu Alphard hitam itu terbuka. Seulas senyum tipis terlukis di wajah pucat Calvin. Segalak dan sekeras apa pun, rasa sayang Adica menang.
"Duduk di sampingku! Aku bukan supirmu!" bentak si anak tengah galak.
"Iya, Tuan Adica. Terima kasih ya." kata Calvin halus.
Mobil meluncur meninggalkan halaman rumah sakit. Calvin bersandar di tempat duduknya. Merasakan dinginnya udara menyerbu lengan dan kakinya. Sakit di pinggang dan perut bagian bawahnya menusuk tajam. Sesungguhnya ini perjalanan yang berat untuknya.