Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Spesial] Mata Pengganti, Pembuka Hati: Tak Ada Hari Libur untuk Mencintai

23 Februari 2018   17:57 Diperbarui: 23 Februari 2018   18:08 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi Calvin Wan, tak ada hari libur untuk menulis, berbagi, dan mencintai. Sebuah ulasan tentang wacana populis Donald Trump ditulisnya dengan sempurna. Buku tebal yang berkisah tentang cinta itu dibukanya. Dibacakannya untuk Silvi. Ia rekamkan buku itu untuk mantan istrinya. Walau telah terpisah, walau terbentur kegagalan untuk bertemu. Ia tetap mencintai Silvi dengan caranya sendiri. Tak ada hari libur untuk mencintai.

Susah payah Calvin bangkit dari ranjang. Blogger, pengusaha, dan mantan peragawan super tampan itu tertatih menghampiri grand pianonya. Memainkan jemarinya di atas tuts-tutsnya. Menyanyikan lagu kenangannya.

Ada cinta yang sejati

Ada sayang yang abadi

Walau kau masih memikirkannya

Aku masih berharap kau milikku (Isyana Sarasvati-Masih Berharap).

**      

Adik yang pengertian. Selalu ada di saat sang kakak terjatuh dan terluka. Adica melakukan peran itu dengan sempurna.

Pukul 18.00 hingga 05.00, waktunya sempurna milik Calvin. Lelah seharian berkutat dengan urusan perusahaan keluarga bukan alasan untuk berhenti memperhatikan dan mencintai kakak sulungnya. Dalam seminggu, ada dua hari libur kerja. Namun tak ada hari libur untuk mencintai dan menyayangi.

Tergesa-gesa si anak tengah dalam keluarga itu membuka pintu paviliun rumah sakit. Terbelalak menatapi kertas-kertas bernoda darah yang berserakan di lantai dekat tempat tidur.

"Apa-apaan ini, Calvin?" tanya Adica geram.

Pria berwajah oriental dan bermata sipit yang tetap dalam posisinya di ranjang itu tak menjawab. Hanya menatap Adica penuh rasa bersalah.

"Sorry..."

"Jangan minta maaf padaku. Minta maaflah pada dirimu sendiri." Adica menyela tajam. Berbalik, lalu memunguti kertas-kertas itu. Menumpuknya rapi di atas meja. Meja kecil penuh berisi kertas, notebook, tab, smartphone, dan gelas kristal. Sebentuk meja kecil yang bersebelahan dengan grand piano.

"Saat seperti ini, sebaiknya kamu jangan menulis."

"Iya, Adica. Aku hanya..."

"Merindukan Silvi? Merindukan Syahrena?"

Calvin mengangguk. Sadar bila adik lelakinya memahami isi hatinya.

"Sampai kapan kamu mau begini? Menghancurkan dirimu sendiri...perceraian ini seperti membunuhmu perlahan-lahan. Apa kanker ginjal ini belum cukup membuatmu menderita?"

Perkataan Adica begitu tajam. Refleks Calvin mengalihkan pandang, ganti menatap langit-langit. Mungkin adiknya benar. Perceraian dengan Silvi membunuh jiwa dan raganya pelan-pelan.

"Kamu benar. Well, bagaimana di kantor? Semuanya baik-baik saja?" tanya Calvin mengalihkan pembicaraan. Selalu saja begitu. Mengalihkan pembicaraan demi menutup keadaan yang sebenarnya.

Sontak wajah Adica berubah muram. Ia melepas jasnya, melemparnya ke kursi.

"Kacau. Para pemegang saham sok kuasa. Papa membanding-bandingkan cara kerjaku denganmu. Syifa dikirimi surat pengaduan dari konsumen."

"Surat pengaduan? Apa yang mereka katakan?"

Sebagai jawaban, Adica membuka smartphonenya. Memperlihatkan foto surat pengaduan yang dikirimkan Syifa via Whatsappnya. Calvin membaca cepat isi surat itu. Wajahnya berangsur cemas.

"Sayang sekali...Syifa tak mengatakannya padaku. Ini harus segera dibereskan, Adica." katanya sambil mengembalikan ponsel berlogo apel tergigit itu ke tangan pemiliknya.

Adica tersenyum sinis. "Mana mungkin dia memberi tahu kakak tercintanya yang sedang sakit? Sudah, jangan cemas. Syifa dan aku akan membereskannya minggu depan."

Sesaat Calvin ingin mendebat lagi. Namun teringat kalau hari ini Hari Jumat. Sudah malam pula. Bukan lagi office hour.

"Kamu sudah shalat?"

Tangan Adica mendarat mulus ke dahinya sendiri dua detik kemudian. Ia terlupa, sungguh-sungguh lupa. Waktu Maghrib hampir habis. Urusan kantor, kemacetan, dan berulang kali mencemaskan Calvin mengacaukan pikirannya.

Tanpa kata, pria yang beberapa tahun lebih muda dari Calvin itu bergegas mengambil wudhu. Shalat di depan ranjang. Tak terpikir lagi untuk shalat di masjid yang terletak di seberang rumah sakit.

Jumat petang yang melelahkan untuk Adica. Jumat petang yang suram untuk Calvin. Di luar, berkas-berkas kemerahan sisa senja menghilang. Langit berubah gelap. Bulan keperakan tersenyum lemah, diikuti kerlip beberapa butir bintang.

**      

Samar-samar ia merasakan tubuhnya diangkat. Beberapa orang berbisik. Disusul hardikan seseorang. Lalu terdengar suara kain diperas. Sesuatu yang hangat menyentuh kulitnya. Disusul wangi sabun.

Air hangat lagi. Gerakan yang lembut tetapi tegas berulang-ulang menyentuh tubuhnya. Calvin tahu pasti, siapa yang melakukan ini untuknya.

"Terima kasih ya," kata pemilik suara dan tangan yang menyeka tubuhnya itu, tak lain Adica.

"Sejak kamu sakit, aku belajar banyak hal baru. Belajar bersabar, belajar ilmu kedokteran, belajar tentang kanker, dan belajar memandikan orang sakit."

Ya, kini Adica sudah banyak berubah. Lebih sabar. Meskipun masih sedingin sebelumnya. Lebih pengertian dan peka terhadap orang-orang sakit. Ilmunya bertambah tentang penyakit kanker dan penanganannya.

"Tak ada hari libur untuk mencintai...kau tahu itu, kan?"

Calvin tersenyum. Kini Adica membantunya berpakaian.

"Aku tak mengerti mengapa kamu suka warna hitam." ujar Adica.

"Sejak kamu bercerai dengan Silvi, hampir setiap hari kamu memakai pakaian hitam."

"Hitam tanda duka, Adica. Sepertinya aku masih belum bisa lepas dari rasa kehilangan." jelas Calvin.

Tak mampu merespon, Adica terdiam. Ia memahami, sangat memahami. Hati kakaknya hancur sejak perceraian itu. Sejak hati dan tubuhnya terpisah dari Silvi. Kenyataan pahit lainnya, ia harus merelakan Silvi bersama Revan.

"Seharusnya minggu lalu jadi momen membahagiakan. Tapi...yah, aku gagal. Gagal bertemu belahan hatiku." ungkap Calvin sedih.

Adica menatapnya lekat. Ada semacam rasa iba dalam tatapan itu. Adica kasihan pada Calvin. Rasa itu muncul tanpa diundang.

"What can I do for you, Calvin? Andai saja kamu tidak gagal bertemu Silvi...andai saja aku bisa mempertemukanmu dengan Silvi dan Syahrena."

**      

Ucapan tak sekadar ucapan. Entah mengapa, Calvin menangkap makna lain dalam tatapan mata sang adik. Seakan ia ingin berbuat sesuatu. Seakan ia tahu harus berbuat apa.

Jumat petang telah lama berganti malam. Sepi, sunyi, dan muram. Bayangan rindu menggantung tak mau pergi. Ternyata kegagalan ini mengubah segalanya. Kesehatan Calvin memburuk. Urusan pekerjaannya terganggu. Ia harus bangkit. Mestinya tak boleh begini. Tapi rindu terlanjur hadir.

Pukul 20.55. Lima menit jelang pukul 21.00. Bahkan menit-menit pun berlalu lambat. Begini rasanya bila kesedihan memagut hati. Waktu serasa teramat pelan bergerak.

Sejak tadi Adica sibuk dengan iPadnya. Tak mau diganggu. Wajahnya kusut. Entah lelah, entah berpura-pura. Calvin menyerah. Memutuskan tak terlalu banyak bertanya.

Rindu itu terus menyesaki rongga dada. Pukul 20.56, 20.57, menit-menit bergerak super lambat. Sampai akhirnya...

21.00. Terdengar langkah-langkah setengah berlari di luar paviliun. Calvin dapat mendengarnya dengan jelas. Perlahan ia mulai mengenali irama langkahnya. Terasa tak asing. Kian jelas, kian jelas, kian jelas.

Tidak, sungguh tidak salah lagi. Anggaplah ini sebuah kebodohan. Sejurus kemudian Calvin bangun dari ranjangnya. Bergerak secepat dia bisa menuju pintu. Di belakangnya, seseorang tersenyum. Menyilangkan tangan di depan dada.

"Tak ada hari libur untuk mencintai," bisiknya.

Tangan Calvin sedikit bergetar saat membuka pintu. Benar saja, berdiri sosok mungil nan cantik. Salah satu dari dua perempuan yang paling dirindukannya.

"Ayah!"

Si cantik Syahrena, gadis kecil bergaun tafetta itu, melompat ke pelukan Calvin. Memeluknya erat-erat. Terisak satu-dua kali.

"Syahrena Sayang..." Calvin nyaris kehilangan kata.

Dipeluknya putrinya penuh cinta. Diciuminya kedua pipinya berulang kali. Lalu diangkatnya tubuh Syahrena. Ia memutarnya. Bahagia sekali bisa bertemu lagi dengan putri tunggalnya. Anak cantik itu tertawa-tawa senang dalam gendongan ayah super tampannya.

"Miss you, Princess." Calvin berujar lembut.

"Miss you too, Ayah."

Selain Silvi, Syahrenalah permata hidupnya. Anak cantik hasil dari program in vitro fertilization. Anak yang lahir dari rasa pesimistis dan keraguan setelah vonis infertilitas jatuh.

"Ayah...Syahrena mau tinggal sama Ayah aja. Syahrena nggak mau sama Daddy Revan." pinta Syahrena lirih.

Di dalam paviliun, ada yang terus tersenyum menatapi ayah dan anak itu. Kedua tangannya masih tersilang di depan dada. Sudah diduganya. Syahrena pasti akan meminta hal itu. Sama seperti sosok yang tersenyum itu, Syahrena sangat mencintai Calvin. Setiap hari baginya adalah hari untuk mencintai ayahnya. Sebab tak ada hari libur untuk mencintai.

**      

https://www.youtube.com/watch?v=fp0hIhv_3Oo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun