"Seharusnya minggu lalu jadi momen membahagiakan. Tapi...yah, aku gagal. Gagal bertemu belahan hatiku." ungkap Calvin sedih.
Adica menatapnya lekat. Ada semacam rasa iba dalam tatapan itu. Adica kasihan pada Calvin. Rasa itu muncul tanpa diundang.
"What can I do for you, Calvin? Andai saja kamu tidak gagal bertemu Silvi...andai saja aku bisa mempertemukanmu dengan Silvi dan Syahrena."
** Â Â Â
Ucapan tak sekadar ucapan. Entah mengapa, Calvin menangkap makna lain dalam tatapan mata sang adik. Seakan ia ingin berbuat sesuatu. Seakan ia tahu harus berbuat apa.
Jumat petang telah lama berganti malam. Sepi, sunyi, dan muram. Bayangan rindu menggantung tak mau pergi. Ternyata kegagalan ini mengubah segalanya. Kesehatan Calvin memburuk. Urusan pekerjaannya terganggu. Ia harus bangkit. Mestinya tak boleh begini. Tapi rindu terlanjur hadir.
Pukul 20.55. Lima menit jelang pukul 21.00. Bahkan menit-menit pun berlalu lambat. Begini rasanya bila kesedihan memagut hati. Waktu serasa teramat pelan bergerak.
Sejak tadi Adica sibuk dengan iPadnya. Tak mau diganggu. Wajahnya kusut. Entah lelah, entah berpura-pura. Calvin menyerah. Memutuskan tak terlalu banyak bertanya.
Rindu itu terus menyesaki rongga dada. Pukul 20.56, 20.57, menit-menit bergerak super lambat. Sampai akhirnya...
21.00. Terdengar langkah-langkah setengah berlari di luar paviliun. Calvin dapat mendengarnya dengan jelas. Perlahan ia mulai mengenali irama langkahnya. Terasa tak asing. Kian jelas, kian jelas, kian jelas.
Tidak, sungguh tidak salah lagi. Anggaplah ini sebuah kebodohan. Sejurus kemudian Calvin bangun dari ranjangnya. Bergerak secepat dia bisa menuju pintu. Di belakangnya, seseorang tersenyum. Menyilangkan tangan di depan dada.