Pria berwajah oriental dan bermata sipit yang tetap dalam posisinya di ranjang itu tak menjawab. Hanya menatap Adica penuh rasa bersalah.
"Sorry..."
"Jangan minta maaf padaku. Minta maaflah pada dirimu sendiri." Adica menyela tajam. Berbalik, lalu memunguti kertas-kertas itu. Menumpuknya rapi di atas meja. Meja kecil penuh berisi kertas, notebook, tab, smartphone, dan gelas kristal. Sebentuk meja kecil yang bersebelahan dengan grand piano.
"Saat seperti ini, sebaiknya kamu jangan menulis."
"Iya, Adica. Aku hanya..."
"Merindukan Silvi? Merindukan Syahrena?"
Calvin mengangguk. Sadar bila adik lelakinya memahami isi hatinya.
"Sampai kapan kamu mau begini? Menghancurkan dirimu sendiri...perceraian ini seperti membunuhmu perlahan-lahan. Apa kanker ginjal ini belum cukup membuatmu menderita?"
Perkataan Adica begitu tajam. Refleks Calvin mengalihkan pandang, ganti menatap langit-langit. Mungkin adiknya benar. Perceraian dengan Silvi membunuh jiwa dan raganya pelan-pelan.
"Kamu benar. Well, bagaimana di kantor? Semuanya baik-baik saja?" tanya Calvin mengalihkan pembicaraan. Selalu saja begitu. Mengalihkan pembicaraan demi menutup keadaan yang sebenarnya.
Sontak wajah Adica berubah muram. Ia melepas jasnya, melemparnya ke kursi.