"Kacau. Para pemegang saham sok kuasa. Papa membanding-bandingkan cara kerjaku denganmu. Syifa dikirimi surat pengaduan dari konsumen."
"Surat pengaduan? Apa yang mereka katakan?"
Sebagai jawaban, Adica membuka smartphonenya. Memperlihatkan foto surat pengaduan yang dikirimkan Syifa via Whatsappnya. Calvin membaca cepat isi surat itu. Wajahnya berangsur cemas.
"Sayang sekali...Syifa tak mengatakannya padaku. Ini harus segera dibereskan, Adica." katanya sambil mengembalikan ponsel berlogo apel tergigit itu ke tangan pemiliknya.
Adica tersenyum sinis. "Mana mungkin dia memberi tahu kakak tercintanya yang sedang sakit? Sudah, jangan cemas. Syifa dan aku akan membereskannya minggu depan."
Sesaat Calvin ingin mendebat lagi. Namun teringat kalau hari ini Hari Jumat. Sudah malam pula. Bukan lagi office hour.
"Kamu sudah shalat?"
Tangan Adica mendarat mulus ke dahinya sendiri dua detik kemudian. Ia terlupa, sungguh-sungguh lupa. Waktu Maghrib hampir habis. Urusan kantor, kemacetan, dan berulang kali mencemaskan Calvin mengacaukan pikirannya.
Tanpa kata, pria yang beberapa tahun lebih muda dari Calvin itu bergegas mengambil wudhu. Shalat di depan ranjang. Tak terpikir lagi untuk shalat di masjid yang terletak di seberang rumah sakit.
Jumat petang yang melelahkan untuk Adica. Jumat petang yang suram untuk Calvin. Di luar, berkas-berkas kemerahan sisa senja menghilang. Langit berubah gelap. Bulan keperakan tersenyum lemah, diikuti kerlip beberapa butir bintang.
** Â Â Â