"Khawatir apa?"
"Khawatir aku akan meninggal di saat masih ada orang lain yang membutuhkanku. Jika umurku tak panjang, aku ikhlas. Tapi aku ingin memastikan semua orang yang kutinggalkan bahagia sebelum aku pergi."
Mendengar itu Silvi terhenyak. Sepasang mata sipit bening itu memancarkan kekhawatiran. Ia khawatir, sangat khawatir.
"Tidak perlu terlalu banyak khawatir, Calvin Sayang. Kamu pasti akan sembuh. Sakitmu ini masih bisa sembuh, aku yakin." ucap Silvi menenangkan.
Calvin menghela nafas berat. Bias kecemasan masih terlihat jelas.
"What should I do? Pertanyaan itu yang membayangi pikiranku. Aku khawatir...bahkan bisa dibilang, aku takut kematian."
Seraut wajah tampan itu pucat sekali. Calvin takut kematian. Silvi memahaminya. Ia berikan support dan motivasi. Dengan penuh kasih, ia peluk Calvin.
"Sebuah pelukan bisa menenangkan hati." gumam Silvi lembut.
Dua sosok rupawan berpelukan. Saling menguatkan, saling menemani. Calvin menemani Silvi. Menemaninya di saat kalut dan sepi. Silvi menguatkan Calvin. Menguatkan di kala rapuh dan kesakitan.
Berada dalam pelukan Calvin membuat Silvi merenung. Setidaknya ia lebih sehat. Tak seperti Calvin yang berjuang ekstra agar bisa sembuh. Silvi hanya butuh waktu dan proses saja untuk mewujudkan impiannya membuka butik. Tak mengapa menjadi perawan tua yang cantik asalkan impiannya terwujud.
"Maafkan aku, Silvi." lirih Calvin, menatap Silvi penuh cinta.