Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Spesial] Mata Pengganti, Pembuka Hati, Gaun dan Jas Hitam Bersatu

22 Februari 2018   05:53 Diperbarui: 22 Februari 2018   05:53 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagaimana rasanya terperangkap sepi di tengah keramaian? Silvi tengah merasakannya. Gadis cantik blasteran Sunda-Inggris itu menggigit bagian dalam pipinya. Mata biru kobaltnya bergerak meneliti sekeliling ruangan kelas yang cukup besar itu.

Individualis, dingin, dan apatis seperti biasa. Bermacam suara terdengar. Hanya kamuflase semata. Pemecah sunyi, pencair kebekuan.

Di kanan-kirinya, terlihat beberapa orang gadis mengobrol serius. Apa yang mereka bicarakan, sedikit-banyak terdengar oleh Silvi. Mereka membicarakan tentang topik skripsi dan pengajuan makalah untuk seminar internasional. Keresahan mereka karena hingga semester 6 belum melakukan apa-apa, belum menghasilkan sesuatu yang luar biasa.

Diam-diam Silvi mendengarkan seraya bertopang dagu. Gadis-gadis di sekelilingnya ini tak begitu cantik dan populer, tapi mereka rajin. Kecerdasannya pun standar saja. Silvi dapat memahami mereka. Merekalah yang tidak memahaminya.

Anggaplah Silvi satu langkah lebih maju. Menulis dan berliterasi bukan hal baru. Tingkat intelegensi bisa dikatakan di atas rata-rata. Intinya, gadis cantik berambut panjang dan bergaun hitam ini sudah bisa mengukur kemampuan dirinya dan teman-temannya.

Mengapa di kelas ini si cantik Silvi merasakan kesepian? Entahlah, mungkin karena tak ada yang cocok dengannya. Mungkin tak ada yang memahaminya. Hati Silvi dicengkeram sepi. Jiwanya disergap resah. Benar kata orang. Anak pintar biasanya kesepian. Wanita cantik pun lebih mudah merasa kesepian.

Meninggalkan gadis-gadis berhijab syar'i itu, Silvi mengalihkan fokus pada sekelompok pemuda yang tengah sibuk bermain game. Entah apa permainan mereka. Yang jelas mereka tertawa-tawa ceria dan begitu senang memainkannya. Mereka begitu ceria, tanpa beban, seolah akan hidup selamanya. Beruntung sekali jadi mereka.

Di dekat pintu, terlihat sekumpulan anak lelaki dan perempuan saling bertukar buku. Nampaknya seperti buku catatan. Raut wajah mereka cemas. Bibir Silvi melengkung membentuk senyuman tipis. Tak salah lagi, mereka sedang mencontek tugas kuliah. Silvi yang pintar tidak perlu melakukan hal itu.

Pemandangan di bangku belakang lain lagi. Seorang pemuda berwajah suram dan berpakaian kusut menghampiri tetangga duduknya. Berbekal wajah memohon, si pemuda meminta kerelaan teman duduknya untuk memberikan koneksi internetnya. Ia kehabisan dan tak punya uang untuk membeli tambahan kuota internetnya. Dalam hati Silvi merasa kasihan. Niat hati ingin membantu si pemuda berwajah suram, tapi sudah didahului yang lain. Silvi lega dan bersyukur. Setidaknya sudah ada yang memberi.

Jika dipikir-pikir, lebih baik dosen killer itu saja yang masuk. Menghadapi dosen kejam jauh lebih baik dibanding tenggelam dalam kesepian.

Perlahan Silvi membenamkan kepala ke lengannya. Memain-mainkan rambutnya yang terkucir rapi. Menarik-narik kucir rambutnya dengan gamang. Hancur sudah ikatan rambut itu. Sekejap kemudian, kuciran rambut Silvi terlepas. Rambutnya kembali terurai.

Rambut yang terkucir rapi kini terlepas. Seperti hatinya yang terlepas dari rasa bahagia. Masih terbayang kejadian kemarin di benaknya. Menyerahkan urusan bisnis pada orang yang salah. Air mata Silvi menetes. Tak ada yang mengerti, tak ada yang memahami dirinya.

**       

Dengan anggun, Silvi bangkit dari bangkunya. Berjalan ke depan kelas dan memutar musik. Seperti biasa, lagu favoritnya. Lagu yang sepenuh hati ia pelajari selama enam bulan ke depan.

Ada cinta yang sejati

Ada sayang yang abadi

Walau kau masih memikirkannya

Aku masih berharap kau milikku (Isyana Sarasvati-Masih Berharap).

Musik mengalun lembut. Slow dan melankolis. Silvi berjalan di tengah kelas. Gerakannya slow motion. Anggun memikat. Seolah lantai keramik yang dipijaknya adalah catwalk.

Berjalan anggun mengikuti irama musik, Silvi memperlihatkan aura seorang model. Nyatanya ia memang model. Penulis buku pula. Wajahnya cantik, sosoknya charming.

Sayangnya, hari ini Silvi yang cantik sedang berduka. Terlihat dari gaun hitam yang dikenakannya. Gaun hitam, lambang duka cita. Belakangan ini Silvi suka memakai gaun hitam. Hitam, cerminan kelam dan kesedihan. Sekelam hatinya.

Silvi sampai di depan jendela. Di sana ia berpose. Anggun, dingin, penuh misteri. Sejurus kemudian ia berputar anggun. Balik kanan, berjalan lagi mengitari kelas. Slow motion lagi. Lebih anggun dari sebelumnya. Musik yang sama masih terdengar.

Kembali di tengah kelas, seseorang meraih lembut tangannya. Mengalihkan atensinya. Refleks Silvi mengalihkan pandang. Pemuda tampan berjas hitam berdiri di sampingnya. Wangi Blue Seduction Antonio Banderas menyejukkan indera penciumannya.

"Calvin?" bisik Silvi tak percaya.

Sesaat mereka berpandangan. Bagaimana mungkin pakaian mereka bisa sewarna? Calvin memakai jas hitam, Silvi mengenakan gaun hitam. Tanpa rencana, tanpa peringatan sebelumnya. Sudah berulang kali Calvin dan Silvi memakai pakaian berwarna sama.

"Mungkin kita jodoh," Calvin balas berbisik, tersenyum menawan.

Hati Silvi berdesir. Setahun lamanya ia mengenal Calvin Wan. Anak konglomerat super kaya. Calon penerus bisnis keluarga. Pemuda berdarah Tionghoa yang sangat rupawan. Sama seperti Silvi, Calvin menekuni dunia modeling dan literasi. Tanggal 9 merupakan tanggal lahir mereka.

"Aku baru kabur dari kantor. Habis presentasi. As you know, sejak Papaku kena Stroke, aku harus mengurus perusahaan." Tanpa diminta, Calvin menjelaskan. Disambuti anggukan Silvi. Ini jadi bukti kalau Calvin dan Silvi bukan mahasiswa biasa. Mereka cerdas, populer, dan tahu apa yang harus dilakukan di masa depan.

Mereka berdua berjalan bergandengan tangan. Di sebelah kiri tampan, sebelah kanan cantik. Perfect.

Calvin mendudukkan Silvi di bangku kosong tepat di samping kanan bangkunya. Mata Silvi menangkap sebentuk laptop yang terbuka di meja Calvin.

"Kamu lagi nulis ya? Posting apa hari ini di blogmu?" tanya Silvi.

"Hanya artikel humaniora...belajar dari atlet ski olimpiade."

Ketertarikan Silvi bangkit. Ia selalu suka membaca tulisan-tulisan Calvin. Dua minggu libur, kali ini Calvin menulis lagi.

Ternyata ada benda lain tergeletak di meja. Kotak berukuran agak besar yang setengah terbuka tutupnya. Di dalamnya terdapat mangkuk berisi makanan yang belum habis, gelas berisi air putih, dan sendok kecil. Calvin terlihat enggan menyentuh kotak itu.

"Calvin Sayang...oh tidak, jangan bilang itu..."

"Ya, harusnya aku habiskan. Dan aku tak boleh minum banyak-banyak. Bolos hemodialisa lagi." Calvin menyela, tersenyum kecil. Tak peduli pada sakit di ginjal sebelah kanannya.

"Habiskan, Calvin. Please..."

Demi Silvi, Calvin menurut. Rasa mual naik ke perutnya. Ia muntah. Beruntung semua orang di ruangan itu terlalu sibuk dengan aktivitasnya hingga tak ada yang memperhatikan. Silvi resah, pelan-pelan membersihkan meja.

"Sorry..." ujar Calvin.

"Aku ingin menemanimu, tapi malah merepotkanmu."

"No worries." tukas Silvi buru-buru.

Bersandar ke kursinya, Calvin melanjutkan menulis. Langsung mempostingnya begitu artikel selesai. Musik terus terdengar mellow menemani saat-saat indah di antara mereka.

"Sudah setahun kamu sakit ginjal. Aku tak tega melihatmu begini, Calvin. What can I do for you?" Silvi bertanya lembut. Memegang tangan Calvin, membelainya.

"Aku masih bisa mengatasi sendiri. Tapi aku khawatir..."

"Khawatir apa?"

"Khawatir aku akan meninggal di saat masih ada orang lain yang membutuhkanku. Jika umurku tak panjang, aku ikhlas. Tapi aku ingin memastikan semua orang yang kutinggalkan bahagia sebelum aku pergi."

Mendengar itu Silvi terhenyak. Sepasang mata sipit bening itu memancarkan kekhawatiran. Ia khawatir, sangat khawatir.

"Tidak perlu terlalu banyak khawatir, Calvin Sayang. Kamu pasti akan sembuh. Sakitmu ini masih bisa sembuh, aku yakin." ucap Silvi menenangkan.

Calvin menghela nafas berat. Bias kecemasan masih terlihat jelas.

"What should I do? Pertanyaan itu yang membayangi pikiranku. Aku khawatir...bahkan bisa dibilang, aku takut kematian."

Seraut wajah tampan itu pucat sekali. Calvin takut kematian. Silvi memahaminya. Ia berikan support dan motivasi. Dengan penuh kasih, ia peluk Calvin.

"Sebuah pelukan bisa menenangkan hati." gumam Silvi lembut.

Dua sosok rupawan berpelukan. Saling menguatkan, saling menemani. Calvin menemani Silvi. Menemaninya di saat kalut dan sepi. Silvi menguatkan Calvin. Menguatkan di kala rapuh dan kesakitan.

Berada dalam pelukan Calvin membuat Silvi merenung. Setidaknya ia lebih sehat. Tak seperti Calvin yang berjuang ekstra agar bisa sembuh. Silvi hanya butuh waktu dan proses saja untuk mewujudkan impiannya membuka butik. Tak mengapa menjadi perawan tua yang cantik asalkan impiannya terwujud.

"Maafkan aku, Silvi." lirih Calvin, menatap Silvi penuh cinta.

"Aku tak sempurna...tapi aku akan berusaha selalu ada."

Calvin menyadari itu. Dirinya tak sempurna, tapi dia selalu ada. Silvi mensyukuri kehadiran Calvin, bagaimana pun keadaannya.

Ada cinta yang sejati. Ada sayang yang abadi. Seperti cinta dan sayangnya Calvin dan Silvi.

**      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun