Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Melodi Silvi: Sebuah "Outline", Perlukah?

19 Februari 2018   06:11 Diperbarui: 19 Februari 2018   06:22 913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompasianers, pernahkah kalian menulis buku? Lalu, sebelum menulis buku, perlukah membuat outlinenya dulu? Jawaban atas pertanyaan yang digunakan sebagai judul tulisan cantik ini: perlu. Ya, outline sangat diperlukan. Sebelum menulis buku, entah itu fiksi atau non-fiksi, jangan lupa buat outlinenya.

Actually, Young Lady cantik baru satu kali membuat outline. Baru saja dibuat minggu lalu. Namun saat membuat outline itulah manfaatnya begitu terasa. Outline menghindarkan diri dari risiko stuck di tengah jalan saat proses penggarapan buku dimulai. Outline juga membuat plot tergambar jelas, tidak ada bagian yang kelak tiba-tiba muncul dan menyimpang dari isi buku.

Maaf, bila tulisan cantik ini akan sedikit lebih panjang. Outline ini pun baru rencana. Dan sebenarnya ini berada di luar tulisan-tulisan cantik Young Lady di Kompasiana. Namun inspirasinya berasal dari Kompasiana dan salah satu Kompasianer. 

Young Lady cantik belum tahu, apakah tahun ini Allah mengizinkan Young Lady untuk mengerjakan hasil dari outline atau tidak. Semoga saja bisa. Namun, sementara ini, Young Lady ingin berbagi dan menunjukkannya pada Kompasianers. Sekali lagi, outline sangat penting bila kita ingin menulis buku.

For example...

**     

Melodi Silvi

Bab 1:

Berita kematian Opa. Opa adalah ayah kandung Calvin sekaligus kakek Silvi. Calvin sedih dan terpukul. Di tengah kesedihan dan kegalauannya, ia memutuskan berhenti mengurus perusahaan keluarga dan menyerahkannya pada tangan kanannya. Kolega bisnisnya mempertanyakan keputusan Calvin. Para pegawai merasa kehilangan. Hari terakhir Calvin di kantornya. Perpisahan dengan seluruh karyawan. Calvin mengundurkan diri dari perusahaan demi memperbaiki hubungannya dengan Silvi, putri angkatnya.

Bab 2:

Calvin kembali ke kota metropolitan tempat masa kecilnya. Di pesawat, ia gelisah. Pria tampan berdarah Tionghoa itu menduga-duga betapa rumitnya ritual pemakaman Opa nanti. Merias jenazah, membakar kertas sembahyang, dan kremasi. Calvin resah dan tidak siap bila harus melihat jenazah ayah kandungnya terbakar.

Walau berbeda keyakinan, Calvin tetap mencintai ayahnya. Sebagai seorang Muslim, mengikuti agama almarhumah Oma, Calvin takut dengan ritual-ritual keagamaan yang dijalankan Opa/Papanya sendiri. Berat menjadi Muslim di tengah keluarga dan teman-teman Non-Muslim. Calvin merasakan itu, namun ia pribadi yang konsisten. Konsekuensi itu dilaluinya dengan baik.

Tiba di rumah duka, Calvin mendapati keluarga besarnya bertengkar. Silvi terjebak di tengah. Ia sedang menangis di samping jenazah sambil memanggil-manggil nama Opa. Calvin hendak memeluk Silvi, namun Silvi mendorongnya. Silvi meneriaki ayahnya sendiri.

Salah seorang anggota keluarga menjelaskan sesuatu. Ternyata sebelum meninggal, Opa bersyahadat. Opa meninggal sebagai Muslim. Kini keluarga besar meributkan baiknya dengan ritual agama mana Opa dimakamkan.

Mendengar itu, Calvin shock. Ia terharu, sedih, dan bahagia. Sebagai anak tunggal, Calvin yang paling berhak memutuskan. Ia pun menegaskan bahwa Opa akan dimakamkan secara Islam.

Dengan penuh kasih, Calvin memandikan jenazah. Mengkafaninya, lalu ia membaca Yasin bersama Silvi. Calvin pula yang mengimami shalat jenazah. Prosesi pemakaman berlangsung khidmat.

Bab 3:

Calvin mengajak Silvi pulang. Silvi menolak keras. Ia hanya ingin tinggal di rumah mendiang Opa. Berulang kali dibujuk, dibantu beberapa anggota keluarga, akhirnya Silvi mau ikut pulang ke rumah Calvin.

Calvin menyadari perubahan dalam diri putrinya. Kini Silvi menjadi gadis pemurung, dingin, sedikit kasar, dan sulit mempercayai orang lain. Perubahan ini membuat Calvin sedih. Ia merasa gagal menjadi ayah yang baik.

Silvi sama sekali tak senang saat Calvin mendorong kursi rodanya, mengajaknya bicara di mobil sepanjang perjalanan pulang, dan menunjukkan kamar yang telah disiapkannya. Hari pertama yang suram di rumah bergaya klasik milik Calvin.

Bab 4:

Sejak mengalami kecelakaan, Silvi homeschooling. Ada seorang guru cantik yang mengajari dan mendampinginya di rumah. Akan tetapi, kali ini Calvin mengambil alih tanggung jawab itu. Dia sendirilah yang mengajari Silvi.

Sayangnya, Silvi enggan diajari ayahnya. Ia belajar dengan malas-malasan, terkadang berpura-pura bodoh untuk membuat Calvin kesal. Kesabaran Calvin begitu besar saat menghadapi Silvi. Selain itu, ia tahu kalau putrinya ini pintar.

Di sela kesibukannya mengajar dan mengasuh Silvi, Calvin konsisten mengelola blog pribadinya. Ia namai blog itu melodisilvi.com. One day one article, itulah target Calvin. Artikel-artikelnya selalu ditunggu para pembaca setianya. Calvin tak kalah produktif dan inspiratifnya dengan para blogger lainnya di era literasi digital seperti sekarang ini.

Diam-diam, Silvi mengamati kesibukan ayahnya. Mau tak mau ia mengagumi Calvin yang konsisten dan produktif dalam meng-update blognya. Kekaguman itu tak ia tunjukkan.

Bab 5:

Makin hari, makin besar penolakan Silvi pada Calvin. Ia tak mau diajari Calvin lagi. Ia bahkan mengancam tak mau belajar materi pelajaran apa pun lagi.

Sia-sia Calvin membujuk Silvi. Gadis itu enggan belajar dengannya. Pagi hari hingga menjelang siang yang biasa digunakan untuk belajar, kini Silvi gunakan untuk main game dan boneka. Bujukan Calvin tak didengarkannya.

Frustrasi, Calvin berdoa meminta petunjuk. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.

Bab 6:

Julia, Calisa, dan Rossie, datang ke rumah. Mereka adalah sepupu-sepupu Silvi. Anak-anak dari sepupu Calvin. Ketiga anak perempuan itu sangat dekat dengan Silvi.

Silvi mengajak mereka masuk ke kamarnya. Ia ceritakan kekesalan dan kebenciannya pada Calvin. Julia, Calisa, dan Rossie menasihatinya. Biar bagaimana pun, Calvin ayah Silvi. Paling tidak Silvi harus menghormatinya.

Nasihat ketiga sepupunya ia bantah. Menurut Silvi, seorang ayah yang baik takkan meninggalkan anaknya selama bertahun-tahun tanpa kabar. Julia meyakinkan Silvi, pastilah Calvin punya alasan untuk meninggalkannya selama itu. Hati Silvi mengeras. Tapi ia menurut ketika Calisa dan Rossie memintanya untuk belajar lagi bersama ayahnya.

Bab 7:

Calvin senang Silvi mau belajar lagi. Diajarinya putri tunggalnya itu dengan sabar. Silvi heran mengapa ayahnya tetap sabar ketika ia berpura-pura bodoh dan sengaja menjawab soal-soal yang diberikan dengan asal. Calvin hanya tersenyum. Ia katakan kalau Silvi sebenarnya anak yang pintar.

Selesai belajar, Calvin menulis artikel seperti biasa. Kemudian dicobanya mengajak Silvi makan di luar. Awalnya Silvi tak mau. Barulah ia mengangguk setelah dibujuk berulang kali.

Perjalanan ke restoran cukup menyenangkan. Calvin memutar lagu-lagu kesukaan mereka di mobil. Kebetulan Calvin dan Silvi menyukai musik yang sama. Bahkan mereka bernyanyi bersama.

Di restoran, beberapa pengunjung melempar pandang aneh ke arah mereka. Beberapa di antara mereka berbisik. Membicarakan ketidakmiripan Calvin dan Silvi. Calvin yang berkulit putih dan bermata sipit, Silvi yang berwajah Indo dan bermata biru.

Penglihatan Silvi tak begitu jelas lagi lantaran Retinopati. Akan tetapi ia bisa merasakan reaksi negatif orang-orang di sekitarnya. Silvi menangis, lalu meminta mereka pulang segera setelah makanan di piring mereka habis. Calvin berusaha menghibur Silvi. Tidak berhasil.

Ia lanjutkan penghiburannya di rumah. Calvin merengkuh Silvi, memainkan piano, dan menyanyikan lagu favorit mereka berdua. Masih Berharap dari Isyana Sarasvati, Calvin bawakan dengan piano dan ia nyanyikan dengan sempurna. Dihiburnya hati Silvi. Silvi tak perlu mendengarkan ucapan orang-orang. Ia hanya perlu tahu dan percaya, kalau Calvin sangat menyayanginya.

Bukannya terhibur, Silvi memberontak melepaskan pelukan ayahnya dan melajukan kursi rodanya secepat mungkin ke dalam kamar. Calvin berusaha mengejar, namun tertahan karena rasa sakit di ginjalnya. Silvi terlanjur masuk kamar dan membanting pintu, sehingga tak melihat ayahnya kesakitan.

Bab 8:

Kian besar kebencian Silvi pada Calvin. Ia sangat membenci ayahnya. Calvin merasa bersalah. Berulang kali dikatakannya bahwa ia sangat mencintai Silvi. Ia berjanji takkan meninggalkan Silvi lagi.

Silvi membentak Calvin. Mempertanyakan alasannya meninggalkannya selama empat tahun. Calvin jelaskan bahwa ada masalah di cabang supermarket yang dikelola keluarga besar. Ia perlu banyak waktu untuk mengatasinya. Penjelasan Calvin tak dapat diterima Silvi.

Demi melampiaskan kesedihannya, Calvin menulis artikel. Mengungkapkan betapa sulitnya menjadi seorang ayah. Banyak pembaca yang mensupportnya. Calvin sedikit terhibur membaca dukungan mereka.

Bab 9:

Pagi-pagi sekali, Calvin meninggalkan rumah. Dengan sangat terpaksa ia tinggalkan Silvi hanya bersama asisten rumah tangga.

Hari itu Calvin meninjau langsung supermarketnya. Melihat laporan dan semacamnya. Lalu ia ke rumah sakit. Albert, dokter spesialis Onkologi berdarah Jawa-Jerman-Skotlandia yang telah lama menanganinya, menyatakan jika kondisinya semakin memburuk. Sel-sel kanker bermetastasis ke paru-paru. Ia diingatkan untuk lebih rajin kemoterapi, radiasi, embolisasi arteri, dan hemodialisa. Walau merasa tak ada harapan lagi, Calvin menuruti saran Albert.

Di perjalanan pulang, ia bertekad untuk merahasiakan penyakitnya. Silvi tak boleh tahu. Dibelikannya tiramisu dan boneka Teddy Bear berukuran besar kesukaan Silvi. Bukannya senang, Silvi malah melemparkan boneka ke kolam renang dan menumpahkan tiramisu dengan sengaja tanpa memakannya. Calvin tetap sabar.

Bab 10:

Kondisi penglihatan Silvi terus menurun. Ia tak bisa membaca sendiri. Alhasil Calvin mengajarinya huruf Braille dan membelikannya komputer khusus dengan program screen reader. Sejumlah buku berhuruf Braille dengan harga yang jauh lebih mahal dari buku biasa, ia belikan.

Dengan enggan, Silvi memakai semua fasilitas pemberian ayahnya. Huruf Braille dikuasainya dengan cepat. Calvin pun belajar bersama Silvi. Ia ingin menguasai huruf yang sama dengan yang dikuasai putrinya. Ingin menjadi ayah yang baik, Calvin bertekad memahami Silvi dan dunianya.

Berlembar-lembar kertas mereka habiskan untuk belajar huruf Braille. Silvi mau tak mau menikmati kegiatannya menulis dan membaca Braille bersama Calvin. Sering kali mereka saling menulis surat. Isinya apa saja, lalu mereka akan tertawa saat salah menulis huruf.

Bangga dengan kemajuan Silvi, Calvin memainkan piano dan menyanyikan lagu. Silvi tetap dingin, tapi ia tak menolak sewaktu Calvin memeluk dan mencium keningnya.

Bab 11:

Hari Jumat ini tak biasa. Calvin membangunkan Silvi lebih pagi, lalu memintanya membantu menata makanan ke dalam kotak. Ada lima belas kotak makanan yang tersedia. Silvi keheranan, dan bertanya-tanya. Ia turuti saja perintah ayahnya tanpa kata.

Setelah semua makanan di dalam kotak selesai ditempatkan, Calvin dan Silvi pergi berdua. Calvin menyetir mobil sambil menjelaskan pada Silvi tentang kebiasaan Jumat Berbagi. Suatu kebiasaan lama dalam keluarga yang ingin dilakukannya kembali. Kali ini Silvi tak bisa menutupi rasa kagumnya.

Mulailah mereka berbagi makanan pada orang-orang yang membutuhkan. Silvi menyaksikan pemulung, penarik becak, dan penyapu jalan tersenyum menerima kotak-kotak makanan yang dibagikan. Kebahagiaan menular dengan cepat. Silvi ikut bahagia.

Jumat-Jumat berikutnya, Silvi selalu antusias berbagi. Ia bahkan tak ragu mengingatkan malam sebelumnya. Jumat berbagi, satu kegiatan yang sangat disukai Silvi. Satu kegiatan yang mau tak mau harus menyatukannya dengan ayahnya.

Bab 12:

Imlek tiba. Keluarga besar berkumpul. Tamu-tamu lainnya berdatangan. Lagi-lagi Silvi jadi bahan pembicaraan. Mereka meragukan Silvi benar-benar anak Calvin.

Silvi menangis. Dia sedih dan marah. Disalahkannya Calvin berulang kali. Calvin dan keluarga besar berusaha menenangkan, hasilnya nihil.

Kebencian Silvi pada Calvin naik ke permukaan. Ia mengingat lagi kesalahan besar Calvin yang telah meninggalkannya dalam keadaan lumpuh dan nyaris buta. Calvin minta maaf. Diulanginya lagi penjelasannya. Ia tak bermaksud berbuat begitu. Silvi semakin marah dan menjauhi Calvin.

Bab 13:

Menulis tak lagi berguna untuk melampiaskan kesedihan. Calvin shalat Tahajud, lalu pergi ke villa. Berniat menenangkan diri. Sementara Silvi dijaga asisten rumah tangga dan ketiga sepupunya.

Villa itu menjadi tempat pelarian dan kesedihannya. Calvin terbaring tak bergerak, tak bergerak, tak bergerak. Ia memakai jas hitam, cerminan kesedihannya. Lama sekali Calvin berbaring tak bergerak. Tenggelam dalam kesedihan dan keputusasaan.

Di villa, Calvin bertemu tiga sahabatnya: Anton, Albert, dan Revan. Albert tak lain dokter spesialis Onkologi yang menanganinya. Anton seorang pemilik restoran yang telah membuka cabang di beberapa kota. Revan adalah teman kuliahnya yang kini menjadi Rektor termuda di universitas swasta milik keluarga besarnya.

Anton, Albert, dan Revan menghiburnya. Mereka membesarkan hati Calvin. Di mata mereka, Calvin ayah yang baik. Calvin hanya perlu lebih banyak bersabar untuk meluluhkan hati Silvi.

Calvin merasa tenang dengan motivasi ketiga sahabatnya. Sebelum kembali menemui Silvi, ia dan sahabat-sahabatnya menyempatkan diri berjalan-jalan di sekitar villa. Saat itulah Revan menceritakan kalau di universitasnya kekurangan dosen pengajar mata kuliah ekonomi dan bisnis. Ia menawari Calvin untuk mengajar di universitasnya. Sebab ia tahu kemampuan Calvin dan latar belakang pendidikan S1 dan S2nya. Calvin minta waktu untuk berpikir. Ia takut waktunya tersita untuk mengajar. Bisa-bisa Silvi tak terurus lagi.

Saat akan membuka pintu mobilnya untuk beranjak pulang, Calvin kembali merasakan sakit. Anton, Albert, dan Revan mencemaskannya. Albert menegurnya karena Calvin bolos hemodialisa lagi. Calvin muntah darah, dan selama beberapa hari ke depan dia hanya boleh minum tak lebih dari 1 liter sehari. Sudah terjadi penumpukan cairan di tubuhnya. Alhasil Calvin harus menggunakan sendok kecil jika ingin minum. Minum setelah makan pun tak boleh sembarangan, harus menunggu setengah jam setelahnya. Keadaan yang cukup menyiksa ini membuatnya menyesal bolos cuci darah.

Bab 14:

Terlepas dari keadaan yang membuatnya tersiksa, Calvin berusaha terlihat segalanya baik-baik saja di depan Silvi. Saat itu Silvi sedang sedih. Ia baru saja menerima hadiah sebuah novel yang sangat disukainya. Namun dia tak bisa membaca novel itu, karena penglihatannya sudah sangat menurun.

Calvin tak ragu membacakan buku tebal itu untuk Silvi. Sebuah novel tentang cinta. Padahal Calvin sama sekali tak menyukai romance. Demi Silvi, ia mau membacakannya.

Tiap hari, Calvin membacakan buku itu untuk Silvi. Meskipun Silvi sering melukai perasaannya, menguji kesabarannya, Calvin tetap membacakan buku itu dengan penuh cinta. Hati Silvi mulai tersentuh.

Bab 15:

Tangan kanan Calvin meninggal. Keadaan jaringan supermarket mulai goyah. Saat menghadiri tahlilan peringatan kematian orang kepercayaannya, Calvin kembali kesakitan. Disembunyikannya dari Silvi dan para tamu.

Ia serahkan bisnis retail itu pada staf-staf terdekatnya. Calvin masih tak mau kembali ke kantor. Alasannya sama: demi Silvi.

Makin lama, supermarket makin sepi. Salah satu penyebabnya gegara perubahan pola belanja yang mulai bergeser dari toko konvensional ke toko online. Di samping itu, staf-staf kepercayaan Calvin kurang terampil menghandel bisnis.

Online shop mulai digemari. Bisnis retail kian sepi. Calvin resah. Kondisi tubuhnya pun tak bersahabat. Silvi mulai menangkap kesedihan ayahnya. Terlihat dari tulisan-tulisan Calvin di blognya yang ia baca sembunyi-sembunyi.

Bab 16:

Kekhawatiran Calvin memuncak. Bisnisnya terus mengalami kemunduran. Tak ingin mengambil risiko, Calvin pun menerima tawaran Revan untuk mengajar di universitasnya. Agar ia memiliki pemasukan tambahan dari tempat lain.

Gajinya sebagai dosen tak sebanding dengan penghasilannya mengelola perusahaan. Karena senang mengajar dan berinteraksi dengan mahasiswa, Calvin toh menikmati pekerjaannya. Dengan cepat ia menjadi akrab dengan semua mahasiswa di jurusannya. Popularitas Calvin sebagai dosen favorit perlahan menggeser dosen-dosen lainnya. Kini ia bahkan dipercaya menjadi dosen pembimbing akademik. Ada beberapa mahasiswa yang berada di bawah tanggung jawab perwaliannya.

Apa yang ditakutkannya tak terjadi. Jadwal mengajarnya cukup longgar. Dalam seminggu, ia memadatkan jadwal mengajarnya menjadi dua hari. Alhasil lima hari sisanya, ia sempurna tetap milik Silvi.

Bab 17:

Kampus dihebohkan dengan dosen killer yang memberi nilai D dan E untuk satu kelas di salah satu angkatan semester 5. Para mahasiswa menangis, mereka tak tahu harus berbuat apa. Mereka pun mendatangi Calvin dan mengadukan masalah itu. Melihat mereka resah dan menangis, Calvin tak tega. Ia berjanji akan membantu mereka sebisanya.

Dicobanya berkomunikasi dengan dosen killer itu. Tak berhasil. Si dosen enggan menarik keputusannya. Berbagai pendekatan telah Calvin lakukan untuk membuatnya berbaik hati.

Akhirnya, Calvin mengambil jalan tengah. Dimintanya daftar nama mahasiswa yang mendapat nilai D dan E. Kemudian dibicarakannya hal itu pada kepala departemen, Dekkan, dan Rektorat. Usaha Calvin berhasil. Si dosen killer mendapat sangsi, dan nilai para mahasiswa yang tidak sebanding dengan usaha serta kemampuan mereka, diinput kembali dengan perubahan yang lebih baik.

Di rumahnya, Silvi mengetahui semua yang dilakukan ayahnya. Ia terkesan. Ia terharu pada kebaikan sang ayah. Setelah kasus itu diselesaikan, beberapa mahasiswa datang ke rumah dan berterima kasih pada Calvin. Saat mereka membawakan hadiah kecil untuk Calvin dan Silvi, pemberian itu ditolak dengan halus. Calvin ikhlas membantu mereka. Ia pun memahami kondisi keuangan mahasiswa yang tak semuanya baik.

Salah seorang mahasiswa bertanya mengapa Calvin sebaik itu. Calvin hanya menjawab, kebaikan yang dilakukannya semata agar Allah memudahkan urusan dan mengabulkan cita-cita putri tunggalnya. Dengan kata lain, Calvin berbuat baik atas nama putrinya. Berbuat baik demi putrinya. Para mahasiswa terkesan. Silvi susah payah menyembunyikan rasa harunya.

Bab 18:

Perlahan tapi pasti, supermarket mulai membaik. Hingga akhirnya kembali seperti semula. Di saat itulah Calvin menulis surat wasiat. Seluruh hartanya akan ia wariskan pada Silvi.

Calvin merasa waktunya tak lama lagi. Penyakit ini semakin sulit untuk dilawan. Makin sering ia habiskan waktu bersama putrinya. Ia ajak jalan-jalan, liburan ke Singapura, membelikannya baju-baju yang cantik, dan macam-macam lagi.

Calvin pun mengajari Silvi menulis. Ia meminta Silvi melanjutkan blog melodisilvi.com jika Calvin sudah tak mampu lagi menulis. Silvi hanya tersenyum dingin, hatinya menyimpan tanda tanya.

Bab 19:

Calvin kritis. Sewaktu mengajar, ia batuk darah dan jatuh pingsan. 48 jam berlalu, Calvin belum juga sadar.

Silvi sedih. Ia takut kehilangan Calvin. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan ayahnya. Julia, Calisa, Rossie, dan keluarga besar berusaha menghiburnya. Mengajaknya berdoa untuk kesembuhan Calvin.

Berhari-hari ia tinggal di rumah sakit. Ia menunggu Calvin sadar kembali. Julia datang membawakannya sebuah buku. Katanya, ini diary milik Calvin. Silvi baru tahu kalau ayahnya masih suka menulis diary.

Julia membacakan buku itu untuk Silvi. Calvin menamai buku itu Diary Saham. Sebagian isinya tentang pergerakan saham, bursa efek, dan hal-hal lainnya tentang saham di perusahaan keluarga. Sebagian lagi berisi tentang Silvi.

Silvi tertegun mendengar semua yang dibacakan Julia. Ternyata ia anak angkat. Ia anak hasil single parent adoption. Calvin memutuskan tidak menikah setelah dirinya divonis mengidap Kidney cancer. Sebagai gantinya, ia berusaha mencari kebahagiaan dengan menjadi ayah angkat untuk anak lain. Anak yang dibuang pasangan bule dan pribumi yang terjerat hubungan terlarang. Calvin mengadopsinya, memberinya nama Silvi, dan membesarkannya dengan penuh cinta. Alasannya tidak menikah bertambah satu: selain karena kanker dan ketidakmampuannya memiliki keturunan, Calvin ingin fokus membahagiakan dan memberikan waktunya untuk Silvi.

Mendapati kenyataan ini, hati Silvi luluh. Rasa cintanya menang. Hatinya terbuka untuk mencintai Calvin sepenuh hati. Calvin ayah terbaik di dunia.

Silvi memegang erat tangan Calvin. Meminta maaf, memohonnya bangun dari koma, dan berjanji memulai lembaran baru. Silvi berjanji tidak akan menyakiti Calvin lagi. Sayangnya, begitu selesai membisikkan kalimat itu, dilihatnya Calvin meneteskan air mata. Sedetik berikutnya detak jantungnya melemah lalu berhenti. Calvin meninggal tepat ketika Silvi memeluknya.

Pemakaman Calvin. Lalu Silvi menepati janjinya dengan melanjutkan blog melodisilvi.com. Di blog itu, ia mencurahkan cintanya sepenuh hati untuk Calvin. Ia ungkapkan, begitu dalam Silvi Mauriska mencintai Calvin Wan, ayahnya yang terhebat.

**     

Ya, begitulah Kompasianers. Sekali lagi, "Calvin Wan" menjadi pria super tampan yang tersakiti dan terluka. Kompasianers, what do you think about this?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun