Dokter setengah baya berwajah baik itu berlari menuju mobil. Pesan dari suster yang diterimanya beberapa menit lalu mengusik perasaan.
"Dokter Rustian, Calvin sakit lagi. Ia sudah dibawa ke paviliunnya. Pasien Anda yang luar biasa itu butuh Anda."
Dalam sekejap, sedan hitam itu melaju pergi. Bukan sekadar pasien istimewa. Calvin Wan, pasien istimewa berhati tegar yang dicintai putri semata wayangnya. Ia telah berjanji pada putrinya untuk berusaha semaksimal mungkin mengobati Calvin.
** Â Â Â
"Kamu pasti kuat. Saya tahu, ada kekuatan luar biasa di dalam hatimu."
Calvin menatap sendu langit-langit putih. Lagi-lagi hanya warna itu yang ditangkapnya. Sakit di perut bagian bawahnya masih terasa. Seperti ada ribuan jarum menusuk-nusuk tanpa henti.
"Kamu kesakitan? Istighfar dan zikir, Nak. Minta kekuatan pada Allah." kata Dokter Rustian lembut.
Tanpa perlu jawaban, gurat kesakitan di wajah tampannya sudah menjadi penegasan. Begitu pula sorot kesakitan di mata beningnya. Blogger, peragawan, dan pengusaha super tampan itu sedang jatuh, jatuh dalam rasa sakit.
"Saya tahu kamu pasti kesakitan. Tapi saya percaya, kamu kuat menghadapinya."
Bibir Calvin mengatup rapat, disusul tarikan nafas pendek dan cepat. Wajahnya bertambah pias. Paham akan situasinya, Dokter Rustian meraih baskom, bangkit, dan mendekatkannya.
"Muntahkan, Nak..."
Sedetik kemudian, Calvin muntah darah. Sudah diduga. Tetap saja terasa pedih melihatnya.
Membersihkan sisa darah dan membereskan sedikit kekacauan yang terjadi, ayah kandung Nanda itu menyadari tatapan mata Calvin. Mata sipit bening itu seakan hendak bicara. Seolah ingin mengeluarkan kata-kata.
"Mengapa Dokter begitu baik pada saya?" tanya Calvin di sela helaan nafasnya.
"Kamu pasien saya yang paling istimewa. Saya menyayangi kamu. Kamu sudah saya anggap seperti anak sendiri." jawab Dokter Rustian tulus.
"Apa karena Nanda mencintai saya?" Calvin bertanya lagi.
"Saya sangat mencintai putri saya. Nanda harta milik saya satu-satunya. Siapa pun yang dicintai Nanda, saya akan mencintainya pula."
Hening sesaat. Calvin merasakan tenggorokannya sakit. Bukan lantaran efek metastasis sel-sel kanker itu, melainkan tercekat rasa sedih dan bersalah.
"Maaf, saya tidak bisa mencintai putri Anda. Saya hanya bisa menyayanginya sebagai sahabat."
"Tidak apa-apa. Cinta tidak bisa dipaksakan. Cinta adalah pilihan."
Disadarinya, Dokter Rustian begitu baik. Mengobatinya semaksimal mungkin. Menjaganya, menemaninya, merawatnya, membantunya saat ia muntah dan kesakitan. Seharusnya hal-hal itu bisa diserahkan pada perawat. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
"Saya sudah janji pada Nanda, akan mengobatimu semampu saya. Calvin, penyakit yang kamu derita sama seperti yang diderita almarhumah istri saya."
Mendung menepi di wajah Dokter Rustian. Calvin terenyak. Teringat apa yang pernah diceritakan Nanda.
"Masih terasa penyesalan karena tak bisa menyelamatkan nyawanya. Saya harap, hal itu tak terjadi lagi. Kamu seperti istri saya, Calvin. Kuat dan tegar."
Nada suara Dokter Rustian sedikit bergetar. Mendung di hatinya disusul gerimis di kedua matanya.
Refleks Calvin memalingkan pandang. Tak tega melihat ayah keduanya menangis. Tidak, ia tak bisa melihat itu. Ia harus mengalihkan perhatian sang dokter dari kesedihan.
"Dokter, saya ingin main piano." pinta Calvin lirih.
Pelan-pelan Dokter Rustian menuntunnya bangun. Memapahnya ke kursi yang berhadapan dengan grand piano di ujung ruangan. Dokter Rustian menarik kursi, lalu mendudukinya. Menunggu Calvin bermain piano. Sesaat ia menunggu, tapi pria tampan berwajah oriental itu belum juga memainkan instrumen musik di depannya.
"Dokter, maaf...boleh saya minta satu hal lagi?"
"Tentu saja, Nak."
"Tolong e-mailkan rekaman buku yang saya bacakan untuk Silvi. Ada di tab saya."
Sejurus kemudian Dokter Rustian mengambilkan tab dan mengirimkan e-mail berisi rekaman buku pada Silvi. Hatinya dipenuhi rasa kagum. Dalam keadaan sakit, Calvin selalu memikirkan orang lain. Dia pun membacakan buku dan merekamnya untuk Silvi dalam kondisi sakit.
"Terima kasih..." ujar Calvin. Menatap Dokter Rustian penuh terima kasih dan penuh cinta.
Kedua tangan Calvin bergerak lincah di atas tuts piano. Intro dimainkan dengan sempurna. Ditingkahi tatapan kagum dokter baik hati di sampingnya. Diam-diam, tanpa sepengetahuan Calvin, Dokter Rustian merekamnya.
Selesai intro, Calvin mulai bernyanyi dengan suara bassnya yang empuk.
Ada cinta yang sejati
Ada sayang yang abadi
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap kau milikku
Sejauh ku melangkah
Hatiku kamu
Sejauh aku pergi
Rinduku kamu
Masihkah hatimu aku
Meski ada hati yang lain
Ada cinta yang sejati
Ada sayang yang abadi
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap kau milikku
Aandai harus terpisahkan
Mungkin inilah takdir cintaku
Ada cinta yang sejati
Ada sayang yang abadi
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap kau milikku
Masih berharap kau untukku (Isyana Sarasvati-Masih Berharap).
Lagu itu sangat lembut, selembut hatinya. Selembut cinta Calvin untuk Silvi. Lagu itu sangat pantas untuk Calvin.
** Â Â Â
Pintu paviliun rumah sakit terbuka keras. Disusul langkah-langkah cepat. Albert dan Elby datang.
"Calvin, are you allright?" tanya Albert dengan logat Scottish yang sangat kental. Menatap Calvin lekat-lekat.
Elby menyikut Albert kesal. Dalam keadaan darurat, masih saja Albert melemparkan tatapan tidak wajar begitu. Albert, pria Jawa-Jerman-Skotlandia itu seorang gay. Dulunya dia pernah naksir Calvin. Pernah pula menyatakan cinta. Calvin menjelaskan dengan halus kalau ia bukan gay. Dan Albert menghormatinya. Sejak saat itulah mereka bersahabat. Satu setengah tahun lalu, Albert menikahi seorang model dari agency yang sama bernama Elenna. Kini Elenna sedang mengandung anaknya. Albert menikahi Elenna hanya demi status. Gay bukanlah fenomena baru dalam dunia modeling. Sisi gelap di dunia modeling dan entertainment.
Albert bicara cepat sekali dengan logat Scottish. Membela dirinya pada Elby. Dokter Rustian dan Calvin tersenyum simpul, menahan tawa.
"Btw, kenapa kamu bisa drop lagi?" Elby menanyai Calvin.
"Aku juga tidak tahu. Kelelahan sepertinya. Saat memimpin rapat, tiba-tiba hidungku berdarah dan aku jatuh. Stafku langsung membawaku ke sini. Untung Mama-Papa dan adik-adikku belum pulang dari perjalanan bisnis. Mereka tak perlu tahu."
"I see. Makanya, jangan terlalu diforsir." Albert menimpali.
Reminder di ponsel Calvin berbunyi. Tanpa reminder pun, sebenarnya ia sudah tahu. Hari Jumat datang lagi. Saatnya berbagi.
"Biar aku saja, Calvin." ucap Elby cepat, seakan telah membaca pikiran sahabatnya.
"Aku ingin melakukannya sendiri, Elby." tolak Calvin halus.
Elby, Albert, dan Dokter Rustian tak dapat mencegahnya. Si peragawan super tampan berkeras melakukannya sendiri. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah meluluskan keinginannya dan menemani.
Sifat keras kepalanya muncul lagi. Dibujuk berkali-kali oleh sang ayah kedua, Calvin enggan memakai kursi roda. Berjalan dengan kedua kakinya sendiri adalah pilihan. Calvin berjalan mantap meninggalkan paviliun mendahului sahabat-sahabat dan ayah keduanya.
"Nak, kamu yakin?" tanya Dokter Rustian waswas.
"Yakin, Dokter. Bukankah tadi Anda sendiri yang bilang kalau saya kuat?"
Kata-kata penyemangat bisa menjadi motivasi yang kuat. Kenekatan Calvin terus berlanjut. Ia menyetir mobil sendiri. Mengabaikan protes keras Albert, Elby, dan Dokter Rustian. Alhasil ketiga lelaki yang sangat care padanya itu mengikutinya dari jarak aman. Saat terjebak macet di depan kawasan perkantoran, Elby mulai marah-marah dan menyalahkan kendaraan di kanan-kirinya.
Entah mendapat kekuatan dari mana. Calvin mampu menyetir dengan baik seperti ketika kondisinya sehat. Ia menghentikan mobilnya di depan gerbang gereja. Berjalan sebentar melewati beberapa blok bangunan, sampailah di sebuah restoran. Dibelinya makanan dan minuman. Ditempatkannya dengan rapi ke dalam kotak-kotak putih.
Balik lagi ke gereja. Memasuki halamannya yang luas. Melihat beberapa jemaat gereja berpakaian lusuh di pelataran dengan anak-anak mereka yang kurus. Ini bukan gereja megah di tengah kota yang berdiri bergandengan mesra dengan masjid dan vihara. Melainkan sebuah gereja kecil di pinggir kota. Jemaatnya kebanyakan berasal dari keluarga miskin. Calvin sengaja memilih lokasi yang berbeda untuk berbagi.
"What? Itu kan gereja..." bisik Albert heran. Menatap punggung Calvin yang kian menjauh.
"Iya. Dia sering pindah-pindah lokasi kalo berbagi. Tuh lihat, mereka senang dapat makanan enak." Elby menyahuti.
"Luar biasa pasien saya satu itu...Subhanallah." gumam Dokter Rustian.
Di belakang gereja, terdapat sebuah jalan kecil berisi rumah-rumah petak. Ke sanalah tujuan Calvin selanjutnya. Tetiba saja, dari dalam salah satu rumah, seorng anak lelaki berambut kusut dan berpakaian kumal berlari-lari mendekat. Ia memeluk Calvin erat seraya memanggil-manggil nama pria tampan itu.
"Ayah Calvin...Ayah Calvin." Si anak lelaki bergumam berulang-ulang. Wajahnya sedih sekali.
Ketiga lelaki yang mengikuti dari belakang melebarkan mata. Alis terangkat tak percaya.
"Ayah? Bukannya Calvin infert..."
"Sssttt...diam, Albert!"
Calvin membelai rambut anak itu. Divonis infertilitas membuatnya sangat mencintai dan menghargai anak-anak. Anak asuh yang dibiayainya cukup banyak. Demi mencurahkan cinta pada sosok seorang anak yang takkan pernah didapatkannya.
"Kenapa, Helmi? Dan kenapa juga kamu masih pakai baju ini? Kemarin kan sudah Ayah belikan banyak baju." Calvin bertanya lembut.
"Baju-bajuku rusak...seragamku juga. Aku tidak bisa ke sekolah."
Melihat anak kecil itu mengadu dan menangis padanya, Calvin tersentuh. Seperti mendengar anak kandungnya sendiri yang berkata begitu.
Jatuh sakit dan divonis infertilitas justru membuatnya semakin baik. Semakin peduli, sabar, dan mengasihi orang lain. Calvin figur pria tampan yang penyabar, altruis, dan penyayang.
** Â Â Â Â
Setelah berbagi dan membelikan pakaian baru untuk si anak lelaki yang memeluknya, Calvin tak langsung kembali ke rumah sakit. Ia justru menjalankan mobilnya ke agency. Awan mendung menyelimuti hatinya saat memandangi gedung tinggi itu. Gedung tinggi yang telah membesarkan namanya selama bertahun-tahun terakhir.
Sebuah Volvo SUV putih meluncur dari halaman gedung. Calvin mengenali mobil itu. Revan, pastilah bersama Silvi. Semua ini telah diatur. Revan akan memiliki semuanya, menggantikan dirinya. Karier sebagai model, perusahaan, istri, dan blog yang telah dibesarkan dan dipopulerkannya. Semua akan jadi milik Revan.
Berat bagi Calvin melepas segalanya. Tapi, inilah yang terbaik. Terkadang, melepaskan adalah jalan terbaik. Calvin tak berdaya. Hanya bisa memandangi dari kaca mobilnya.
Perih, sesak, luka. Mendung di hatinya menebal. Minggu depan ia resmi mengundurkan diri dari agency. Pihak agency sempat kecewa. Segera saja terobati dengan model pengganti yang diajukan Calvin. Semuanya takkan sama. Sungguh, takkan sama lagi.
** Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H