"Biar aku saja, Calvin." ucap Elby cepat, seakan telah membaca pikiran sahabatnya.
"Aku ingin melakukannya sendiri, Elby." tolak Calvin halus.
Elby, Albert, dan Dokter Rustian tak dapat mencegahnya. Si peragawan super tampan berkeras melakukannya sendiri. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah meluluskan keinginannya dan menemani.
Sifat keras kepalanya muncul lagi. Dibujuk berkali-kali oleh sang ayah kedua, Calvin enggan memakai kursi roda. Berjalan dengan kedua kakinya sendiri adalah pilihan. Calvin berjalan mantap meninggalkan paviliun mendahului sahabat-sahabat dan ayah keduanya.
"Nak, kamu yakin?" tanya Dokter Rustian waswas.
"Yakin, Dokter. Bukankah tadi Anda sendiri yang bilang kalau saya kuat?"
Kata-kata penyemangat bisa menjadi motivasi yang kuat. Kenekatan Calvin terus berlanjut. Ia menyetir mobil sendiri. Mengabaikan protes keras Albert, Elby, dan Dokter Rustian. Alhasil ketiga lelaki yang sangat care padanya itu mengikutinya dari jarak aman. Saat terjebak macet di depan kawasan perkantoran, Elby mulai marah-marah dan menyalahkan kendaraan di kanan-kirinya.
Entah mendapat kekuatan dari mana. Calvin mampu menyetir dengan baik seperti ketika kondisinya sehat. Ia menghentikan mobilnya di depan gerbang gereja. Berjalan sebentar melewati beberapa blok bangunan, sampailah di sebuah restoran. Dibelinya makanan dan minuman. Ditempatkannya dengan rapi ke dalam kotak-kotak putih.
Balik lagi ke gereja. Memasuki halamannya yang luas. Melihat beberapa jemaat gereja berpakaian lusuh di pelataran dengan anak-anak mereka yang kurus. Ini bukan gereja megah di tengah kota yang berdiri bergandengan mesra dengan masjid dan vihara. Melainkan sebuah gereja kecil di pinggir kota. Jemaatnya kebanyakan berasal dari keluarga miskin. Calvin sengaja memilih lokasi yang berbeda untuk berbagi.
"What? Itu kan gereja..." bisik Albert heran. Menatap punggung Calvin yang kian menjauh.
"Iya. Dia sering pindah-pindah lokasi kalo berbagi. Tuh lihat, mereka senang dapat makanan enak." Elby menyahuti.