"Luar biasa pasien saya satu itu...Subhanallah." gumam Dokter Rustian.
Di belakang gereja, terdapat sebuah jalan kecil berisi rumah-rumah petak. Ke sanalah tujuan Calvin selanjutnya. Tetiba saja, dari dalam salah satu rumah, seorng anak lelaki berambut kusut dan berpakaian kumal berlari-lari mendekat. Ia memeluk Calvin erat seraya memanggil-manggil nama pria tampan itu.
"Ayah Calvin...Ayah Calvin." Si anak lelaki bergumam berulang-ulang. Wajahnya sedih sekali.
Ketiga lelaki yang mengikuti dari belakang melebarkan mata. Alis terangkat tak percaya.
"Ayah? Bukannya Calvin infert..."
"Sssttt...diam, Albert!"
Calvin membelai rambut anak itu. Divonis infertilitas membuatnya sangat mencintai dan menghargai anak-anak. Anak asuh yang dibiayainya cukup banyak. Demi mencurahkan cinta pada sosok seorang anak yang takkan pernah didapatkannya.
"Kenapa, Helmi? Dan kenapa juga kamu masih pakai baju ini? Kemarin kan sudah Ayah belikan banyak baju." Calvin bertanya lembut.
"Baju-bajuku rusak...seragamku juga. Aku tidak bisa ke sekolah."
Melihat anak kecil itu mengadu dan menangis padanya, Calvin tersentuh. Seperti mendengar anak kandungnya sendiri yang berkata begitu.
Jatuh sakit dan divonis infertilitas justru membuatnya semakin baik. Semakin peduli, sabar, dan mengasihi orang lain. Calvin figur pria tampan yang penyabar, altruis, dan penyayang.