Semusim aku lewati tanpa kamu
Detik-detik pun berlalu menyiksa hatiku
Mungkinkah di sana kaurasakan yang sama
Takkan berubah perasaanku pada dirimu
Meskipun kita jauh
Takkan berkurang kerinduan ini
Cepatlah pulang aku menunggumu
Sungguh aku rindu kamu (Bastian Steel-Aku Rindu).
** Â Â Â
"Kamu dimana, Rossie?" lirih Calvin. Getar kerinduan dan kesedihan tertangkap kuat dalam suaranya.
Malam bergulir menuju pagi. Seluruh kota telah ia kelilingi. Rumah sakit, mulai dari rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, sampai rumah sakit bertaraf internasional telah ia datangi. Hanya untuk mencari Rossie. Pencariannya nihil.
Rossie seakan hilang tanpa jejak. Hati Calvin pedih. Dianggap apakah dirinya oleh Rossie? Sampai-sampai istrinya itu tak mau memberi tahu dimana keberadaannya, dimana Patricia dirawat.
Tidakkah ia membutuhkan bantuan Calvin? Sayangnya, Rossie super mandiri. Wanita blasteran Sunda-Jerman itu akan berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia akan minta bantuan orang lain bila keadaan sudah sangat mendesak.
Orang lain yang dimintakan bantuan pun hanya orang-orang tertentu saja. Barangkali Calvin tak termasuk di antaranya. Menyedihkan, realita yang sangat menyedihkan.
Gema suara azan menyadarkannya. Sudah Subuh. Waktu berlalu begitu cepat. Calvin mengarahkan mobilnya ke masjid terdekat. Ibadah tetap nomor satu, dalam keadaan apa pun.
Masjid yang disinggahinya lumayan besar. Jamaahnya hanya sedikit. Sejumlah pria setengah baya bersiap-siap membentuk saf. Hampir saja iqamat dikumandangkan saat Calvin tergesa-gesa memasuki masjid.
"Tunggu!" Refleks Calvin berseru tertahan, mengalihkan atensi imam dan jamaah.
"Oh maaf...saya takut ketinggalan shalat berjamaah. Maaf."
Para jamaah dan imam mengangguk paham. Menatap Calvin dari ujung rambut hingga ujung kaki. Subhanallah, pikir mereka kagum. Seorang pria muda yang saleh dan taat beribadah.
"Kami tunggu, Anak Muda." ujar sang imam lembut.
Tanpa membuang waktu lagi, Calvin mengambil wudhu. Lalu mengambil tempat di saf terdepan. Iqamat dikumandangkan. Shalat dimulai.
Usai shalat, Calvin tak langsung beranjak. Melainkan berzikir sejenak. Membaca shalawat, lalu berdoa. Mengadukan kerinduannya, kesedihannya, kedukaannya pada Allah. Meminta petunjuk dimana lagi ia harus mencari Rossie. Sungguh ia rindu istrinya. Harapannya, Rossie segera pulang. Rindu ini tak tertahankan.
Beberapa jamaah yang belum pulang diam-diam memperhatikan Calvin. Kekaguman terpancar di mata mereka. Jarang sekali ada pria muda, tipe pria metropolis pula, yang menyempatkan diri shalat Subuh berjamaah di masjid. Biasanya mereka lebih suka shalat munfarid di rumah saja, atau bahkan tidak shalat sama sekali. Calvin berbeda dari pria-pria seusianya. Pribadi yang religius, rajin beribadah, dan selalu mengingat Tuhannya.
Satu-dua pria paruh baya berbisik. Memuji kesalehan Calvin. Salah satunya berbisik,
"Aku jadi penasaran...apakah dia sudah beristri? Kalau belum, bisa kujodohkan dengan putriku."
Tipe pria macam Calvin Wan memang layak jadi menantu idaman.
Selesai berzikir dan berdoa, langsung saja Calvin didekati para jamaah. Mereka mengajaknya ngobrol. Calvin melayani obrolan mereka dengan ramah dan sopan. Makin kagum pria-pria tua itu saat mengetahui sepotong demi sepotong informasi tentang Calvin.
"Masya Allah...kamu pria istimewa, Anak Muda. Oh ya, apa kamu sudah beristri?" tanya salah seorang jamaah dengan berani.
Ditanya begitu, Calvin tak bisa menahan senyum. Sebelum atau sesudah menikah pun, Calvin masih punya daya pikat yang sangat kuat.
"Alhamdulillah sudah." jawab Calvin.
Sepintas terlihat gurat kekecewaan di wajah si penanya. Calvin dapat melihatnya, walau hanya sekilas. Temannya menyikut rusuknya, seakan memberi kode.
"Wah, pasti istrimu bahagia sekali ya punya suami seperti kamu."
Tenggorokan Calvin tercekat. Dadanya sakit. Entah Rossie bahagia atau tidak bersamanya.
"Maaf, saya harus pergi. Assalamualaikum."
Sejurus kemudian ia bangkit. Berjalan cepat keluar masjid. Sekuat tenaga menyembunyikan perasaannya. Ya Allah, ini terlalu menyakitkan. Rumah tangganya bukanlah rumah tangga yang bahagia. Rossie tak henti melukainya. Selalu menempatkan Calvin di posisi yang salah. Ini sungguh menyakitkan.
Meski demikian, Calvin sangat mencintai Rossie. Cinta dan rindunya jauh lebih besar dibanding sakit hatinya. Cinta, satu-satunya hal yang membuat Calvin bertahan dengan Rossie.
Calvin memutuskan kembali ke rumah. Amat berharap Rossie sudah pulang. Berharap pula Patricia baik-baik saja. Akan tetapi, harapan tak sesuai kenyataan. Bukan Rossie yang ia temukan setiba di rumah. Melainkan cobaan baru.
Plang besar bertuliskan "Calv-Rose DayCare" telah diturunkan. Sebagai gantinya, tergantung plang besar bertuliskan:
"Cina dan Bule Muslim adalah penyiksa anak-anak. Jangan titipkan anak kalian di sini."
Calvin terperangah membacanya. Itu adalah makian. Sangat kasar, sangat rasis. Siapa yang begitu tega memaki dengan cara begitu? Cobaan apa lagi ini? Satu masalah belum selesai, muncul masalah baru. Sampai kapankah Calvin mampu kuat menjalaninya?
** Â Â Â
Adica menepuk pelan punggung Calvin. Berusaha membesarkan hatinya. Dalam kondisi begini, mana mungkin ia tinggalkan kakaknya sendirian?
"Sebaiknya tutup saja," Adica pelan-pelan mengusulkan.
"Tidak. Aku tidak akan menutupnya. Ini permintaan Rossie. Mana bisa aku mengecewakannya?" tolak Calvin.
Kedua alisnya terangkat tinggi. Lagi-lagi hanya Rossie yang dipikirkan Calvin.
"Hmm...Rossie tak pernah memikirkanmu. Ia bahkan benci dengan pernikahan ini. Mengapa kamu mencintainya sedalam itu?" sergah Adica gusar.
"Kamu tidak tahu, Adica. Kamu tidak akan mengerti bagaimana rasanya sampai kamu sendiri yang merasakan jatuh cinta. Merasakan begitu dalamnya mencintai."
Ruang keluarga hening total. Hari ini, tak ada satu pun anak yang diantarkan orang tuanya ke sini. Semuanya seakan telah termakan isu. Hal ini membuat Calvin frustasi.
Enggan berargumen dengan adiknya, Calvin menyalakan laptop. Menulis artikel. Hanya renungan di pagi hari yang mendung. Renungan tentang mengendalikan keinginan dalam hidup. Analoginya seperti bendungan yang perlu sesekali dikurangi airnya.
Adica mengerling kakak semata wayangnya. Hanya bisa memperhatikan, hanya bisa berharap sang kakak baik-baik saja. Sesekali Calvin menghentikan gerakan tangannya mengetikkan kata demi kata saat rasa sakit datang.
"Calvin, istirahatlah. Dari kemarin kamu belum tidur." Adica mulai cemas.
"Sebentar lagi. Aku ingin menyelesaikan tulisanku."
Seperempat jam berselang, artikel itu selesai. Publish, dan selesailah. Tepat ketika artikel itu selesai ditayangkan, Calvin batuk darah. Ia jatuh tak sadarkan diri di kursinya. Apa yang ditakutkan terjadi.
** Â Â Â
Langkah Rossie di koridor rumah sakit terhenti seketika. Ia mendengar suara brankar didorong terburu-buru. Sepasang mata hazelnya teralih ke sudut koridor. Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Dikenalinya sosok tampan yang terbaring lemah itu.
"Calvin!"
Diiringi seruan tertahan, Rossie berlari mengejar brankar itu. Ia berhasil mengejarnya. Menggenggam tangan Calvin erat. Tak bisa diingkari, hatinya dipagut kecemasan.
"Rossie..." lirih Calvin, matanya setengah terbuka.
Rossie tak sanggup berkata-kata. Genggamannya di tangan Calvin bertambah erat.
Dari arah berlawanan, terlihat sebuah brankar yang lebih kecil. Salah seorang suster memanggil namanya. Mengabarkan bila kondisi Patricia drop. Rossie terjebak dilema. Manakah yang harus ia pilih? Menemani Calvin atau menemani Patricia?
Akhirnya ia mengambil keputusan. Dilepaskannya tangan Calvin. Lalu ia bergegas menyusul suster yang membawa brankar Patricia.
Calvin kembali ditinggalkan. Ia tak berdaya menatapi sosok langsing Rossie yang kian menjauh. Hatinya hancur. Sebenci itukah Rossie pada dirinya?
** Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=WdT6HANeBV4
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H