Kedua alisnya terangkat tinggi. Lagi-lagi hanya Rossie yang dipikirkan Calvin.
"Hmm...Rossie tak pernah memikirkanmu. Ia bahkan benci dengan pernikahan ini. Mengapa kamu mencintainya sedalam itu?" sergah Adica gusar.
"Kamu tidak tahu, Adica. Kamu tidak akan mengerti bagaimana rasanya sampai kamu sendiri yang merasakan jatuh cinta. Merasakan begitu dalamnya mencintai."
Ruang keluarga hening total. Hari ini, tak ada satu pun anak yang diantarkan orang tuanya ke sini. Semuanya seakan telah termakan isu. Hal ini membuat Calvin frustasi.
Enggan berargumen dengan adiknya, Calvin menyalakan laptop. Menulis artikel. Hanya renungan di pagi hari yang mendung. Renungan tentang mengendalikan keinginan dalam hidup. Analoginya seperti bendungan yang perlu sesekali dikurangi airnya.
Adica mengerling kakak semata wayangnya. Hanya bisa memperhatikan, hanya bisa berharap sang kakak baik-baik saja. Sesekali Calvin menghentikan gerakan tangannya mengetikkan kata demi kata saat rasa sakit datang.
"Calvin, istirahatlah. Dari kemarin kamu belum tidur." Adica mulai cemas.
"Sebentar lagi. Aku ingin menyelesaikan tulisanku."
Seperempat jam berselang, artikel itu selesai. Publish, dan selesailah. Tepat ketika artikel itu selesai ditayangkan, Calvin batuk darah. Ia jatuh tak sadarkan diri di kursinya. Apa yang ditakutkan terjadi.
** Â Â Â
Langkah Rossie di koridor rumah sakit terhenti seketika. Ia mendengar suara brankar didorong terburu-buru. Sepasang mata hazelnya teralih ke sudut koridor. Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Dikenalinya sosok tampan yang terbaring lemah itu.