Rossie seakan hilang tanpa jejak. Hati Calvin pedih. Dianggap apakah dirinya oleh Rossie? Sampai-sampai istrinya itu tak mau memberi tahu dimana keberadaannya, dimana Patricia dirawat.
Tidakkah ia membutuhkan bantuan Calvin? Sayangnya, Rossie super mandiri. Wanita blasteran Sunda-Jerman itu akan berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia akan minta bantuan orang lain bila keadaan sudah sangat mendesak.
Orang lain yang dimintakan bantuan pun hanya orang-orang tertentu saja. Barangkali Calvin tak termasuk di antaranya. Menyedihkan, realita yang sangat menyedihkan.
Gema suara azan menyadarkannya. Sudah Subuh. Waktu berlalu begitu cepat. Calvin mengarahkan mobilnya ke masjid terdekat. Ibadah tetap nomor satu, dalam keadaan apa pun.
Masjid yang disinggahinya lumayan besar. Jamaahnya hanya sedikit. Sejumlah pria setengah baya bersiap-siap membentuk saf. Hampir saja iqamat dikumandangkan saat Calvin tergesa-gesa memasuki masjid.
"Tunggu!" Refleks Calvin berseru tertahan, mengalihkan atensi imam dan jamaah.
"Oh maaf...saya takut ketinggalan shalat berjamaah. Maaf."
Para jamaah dan imam mengangguk paham. Menatap Calvin dari ujung rambut hingga ujung kaki. Subhanallah, pikir mereka kagum. Seorang pria muda yang saleh dan taat beribadah.
"Kami tunggu, Anak Muda." ujar sang imam lembut.
Tanpa membuang waktu lagi, Calvin mengambil wudhu. Lalu mengambil tempat di saf terdepan. Iqamat dikumandangkan. Shalat dimulai.
Usai shalat, Calvin tak langsung beranjak. Melainkan berzikir sejenak. Membaca shalawat, lalu berdoa. Mengadukan kerinduannya, kesedihannya, kedukaannya pada Allah. Meminta petunjuk dimana lagi ia harus mencari Rossie. Sungguh ia rindu istrinya. Harapannya, Rossie segera pulang. Rindu ini tak tertahankan.