Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Special] Mata Pengganti, Pembuka Hati: Saya Cinta Kamu Karena Allah

21 Januari 2018   06:04 Diperbarui: 21 Januari 2018   08:28 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Taman mendadak sunyi. Semua anggota keluarga terpaku menatap Calvin. Calvin yang tampan, memeluk Silvi yang cantik. Calvin yang terlihat begitu dewasa dan rupawan dalam usianya.

Laki-laki itu, Yogi, calon suami Sarah, tak kalah kagetnya. Mendapati calon adik iparnya dipeluk pria Tionghoa yang sangat tampan. Ia menatap Sarah penuh tanya.

"Sarah, siapa pria itu?"

"Entahlah. Tapi...yang kutahu, dia sangat dekat dengan adikku."

Yogi mengangkat alisnya, sangsi. Lelaki 28 tahun berdarah Jawa-Melayu-India itu menatapi Calvin makin penasaran. Lebih penasaran lagi melihat Silvi, yang notabenenya jarang sekali dekat dengan seorang pria, bisa sedekat itu dengan Calvin.

"Kamu penasaran? Tanya dong. Sapa Silvi, dekati dia." bujuk Sarah.

Dibujuk calon istrinya, Yogi terdiam. Enginer tampan berhidung mancung itu ragu. Sebab ia tahu sikap Silvi. Ia tahu, Silvi belum bisa menerima dirinya seutuhnya.

Tepat pada saat itulah Calvin menangkap kerlingan mata Yogi. Ia memainkan perannya dengan baik. Sukses membuat orang penasaran. Dipereratnya pelukan di tubuh Silvi. Belaiannya di rambut gadis itu kian lembut.

Sedetik kemudian...Calvin mencium Silvi. Ya, Calvin Wan mencium Silvi Mauriska.

Adegan itu membuat rasa penasaran terus membesar. Mengapa Calvin sebegitu nekat mencium Silvi di depan seluruh keluarganya? Seakan ini hal biasa, Silvi melingkarkan lengannya di leher Calvin. Memajukan bibir mungilnya, kemudian membalas ciuman Calvin.

Sesuatu yang lembut, hangat, basah, dan manis mendarat di bibir Calvin. Ternyata, begini rasanya dicium gadis secantik dan seanggun Silvi. Saat itu, wajah Silvi begitu dekat dengannya. Seraut wajah cantik yang memikat. Calvin nyaris tak tahan terbius pesonanya.

Di satu sisi, mata Silvi tak berkedip. Menikmati ketampanan Calvin dari jarak sedekat ini sungguh anugerah. Blessing in disguise, bisik hati kecilnya.

"Calvin, why are you so...?"

"Stop! Apa yang kalian lakukan?"

Seruan Sarah dan Yogi membuyarkan saat-saat indah mereka. Refleks Calvin dan Silvi saling melepaskan diri.

"Silvi...Silvi Sayang, mengapa harus Calvin? Tidak boleh, Sayang." Sarah berkata lembut.

"Kalau hatiku yang menginginkan Calvin, aku bisa apa? Tenang saja...hanya French kiss, tidak sampai one night stand." Silvi berkelit tajam dan cantik, berhasil menghantam hati Sarah dengan keterkejutan.

Yogi memandang Calvin penuh arti. Antara kaget dan penasaran. Calvin balas menatapnya dengan sikap berwibawa. Aura Calvin inilah yang membuat Yogi segan melontarkan pertanyaan yang tertahan di benaknya.

"Inilah yang saya harapkan, Yogi." ujar Calvin tetiba, lalu berjalan menghampiri Yogi.

"Maksudmu?" tanya Yogi dengan logat Melayu-Palembangnya yang kental.

"Saya menarik perhatianmu. Karena ada sesuatu yang harus saya bicarakan. So, berhentilah berpura-pura tak peduli."

Seolah Calvin memiliki mata hati. Seolah Calvin diberkahi indigo atau kemampuan indera keenam. Ia tahu ada sikap pura-pura tak peduli dalam diri calon kakak ipar Silvi itu.

"Kamu mau bicara dengan saya? Ada apa?" tanya Yogi lagi, keningnya berkerut.

"Jangan sekarang. Setelah pertemuan keluarga saja." Calvin memutuskan.

Silvi memandangi Calvin dengan kebingungan. Sebenarnya, apa yang ingin dia lakukan?

"Calvin, apa...?"

"Kamu lihat saja nanti, Silvi. Tenanglah, tidak usah khawatir."

Tatapan mata teduh itu, suara itu, Silvi tak kuasa membantah. Hanya bisa mengangguk. Merapatkan tubuhnya pada Calvin.

Pertemuan keluarga dilanjutkan. Tanggal pernikahan Sarah dan Yogi disepakati: 16 Juli. Pertengahan tahun, sebulan setelah Ied Mubarak. Sekitar enam bulan lagi. Persoalan tanggal sudah deal. Kini, tinggal menentukan tempat akad nikah dan resepsi.

"Palembang," usul salah seorang sepupu.

"Itu kan kota kenangan Sarah dan Yogi. Bahkan, Yogi melewatkan masa kecilnya di sana. Iya kan?"

Tatapan-tatapan antusias menyeruak. Menikah di kota bersejarah tempat sisa-sisa peninggalan Kerajaan Sriwijaya itu, sepertinya menarik. Kota yang terkenal dengan Sungai Musinya. Kota kenangan penghasil pria-pria tampan dan wanita-wanita cantik.

"Hmm...boleh juga. Tapi..."

Mulailah mereka mengusulkan beberapa tempat lain. Yogyakarta, Jakarta, Bali, dan Palembang menjadi kandidat terkuat. Agak sulit menentukan kota dimana seluruh keluarga besar dapat berkumpul bersama di waktu yang sama. Entahlah, menentukan lokasi pernikahan dengan adanya keluarga besar yang sulit dikumpulkan membuat segalanya lebih rumit.

Sementara itu, Silvi tak ikut ambil bagian dalam diskusi. Ia terjebak di tengah. Calvin di sisinya, menggenggam tangannya erat. Mata biru Silvi bertemu pandang dengan mata sipit Calvin.

"Calvin?"

"Yya?"

"Dimana pun pernikahannya, kamu tetap datang kan? Kamulah orang yang kuinginkan saat pesta pernikahan itu. Dan undangan ini pun terbatas."

Nada suara Silvi begitu lembut. Bahkan terdengar agak manja. Calvin mengusap rambut gadis Jawa-Belanda itu.

"Insya Allah. Suatu kehormatan untukku..."

"Oh. Thanks Calvin."

**     

Empat sosok tampan dan cantik itu duduk santai di bangku taman. Diplomasi bangku taman, begitulah istilah Calvin. Bila kebanyakan orang lain menggunakan diplomasi meja makan, Calvin sedikit berbeda.

Sarah-Yogi dan Calvin-Silvi duduk bersama. Mulai saling bicara dari hati ke hati. Atmosfer di sekeliling taman begitu hangat dan ceria. Pas sekali untuk bicara dari hati ke hati.

"Saya rasa, harus ada dua orang yang berdamai." Calvin angkat bicara. Menatapi Silvi dan Yogi bergantian.

"Berdamai? Memangnya saya bermusuhan dengan Silvi?" Yogi rupanya menangkap arah tatapan Calvin.

"Oh bagus, kalau kamu tidak punya niat memusuhi Silvi. Saya tanya padamu: benarkah kamu malu punya adik ipar seperti Silvi?"

Sesaat Yogi terdiam. Silvi dan Sarah menunggu dengan tegang. Sebaliknya, Calvin tetap tenang. Sangat charming dan kharismatik. Pembawaan Calvin inilah yang sangat disukai Silvi.

"Tentu saja tidak. Untuk apa saya malu? Saya percaya...di saat Allah melemahkan salah satu indera, Ia akan menguatkan indera-indera lainnya. Allah tidak pernah menciptakan produk gagal. Semua ciptaanNya pastilah sempurna dan istimewa."

Mendengar itu, Silvi terperangah. Sarah memberi pandangan lembut penuh cinta pada calon suaminya. Wajah tampan Calvin mulus tak terbaca.

"Well, indah sekali kata-katamu. Tapi, mengapa kamu mendiamkan Silvi? Menjauhinya, dan tidak peduli padanya?" tanya Calvin penuh selidik.

"Itu karena saya tidak tahu bagaimana harus bersikap padanya." sahut Yogi.

"That's all?"

"Yups."

Tak ada alasan bagi Calvin untuk tidak mempercayai laki-laki yang beberapa tahun lebih muda darinya itu. Raut wajahnya, kesungguhan sikapnya, senyumnya, dan tatapan matanya mencerminkan kejujuran. Calvin menggamit lengan Silvi, menuntunnya ke dekat calon kakak iparnya itu.

"My Lovely Silvi, kamu dengar sendiri kan? Yogi tidak pernah malu. Bahkan, dia percaya ada sesuatu yang lebih dalam dirimu. All clear?"

Perlahan Silvi mengangguk. Sarah tersenyum, Yogi ikut tersenyum. Ia menatap Silvi dengan ramah, mencoba lebih dekat dan hangat pada gadis cantik itu.

"Silvi...saya sama sekali tidak malu memiliki saudara sepertimu. Saya justru senang. Maafkan saya." kata Yogi sungguh-sungguh.

"Ya." Silvi menjawab singkat.

"Mungkin...kamu ingin tanya sesuatu? Atau apa?"

Silvi menengadah. Menatap mata Yogi.

"Saya tidak seperti Sarah, kamu harus tahu itu. Simple saja pertanyaan saya. Mengapa kamu cinta kakak saya?"

Ini pertanyaan sederhana, namun sangat dalam. Yogi menatap Sarah, Silvi, dan Calvin lalu menjawab yakin.

"No reason. Saya cinta Sarah karena Allah."

Hening. Sempurna hening. Seolah tak ada yang bernafas. Pepohonan, bunga, rumput, dan bangku-bangku taman ikut membisu. Bungkam dalam keterpanaan.

"Mencintai karena Allah..." ulang Silvi lirih, dua titik bening bergelayut di pelupuk matanya.

"Iya."

"Benarkah itu, Yogi Sayang?" sela Sarah.

Berbalik menatapi calon istrinya, Yogi berkata sejelas-jelasnya. "Saya cinta kamu karena Allah."

Kalimat magis penuh daya cinta. Hati Silvi bergetar mendengarnya. Lututnya terasa lemas. Air matanya mengalir. Dengan lembut tetapi sigap, Calvin menghapus air mata di wajah Silvi.

Silvi menangis. Lalu ia rebah di pelukan Calvin. Ditatapnya blogger super tampan mantan Koko DKI Jakarta itu penuh rasa terima kasih. Calvin memang luar biasa. Ia berhasil mendamaikan Yogi dan Silvi. Mencairkan kebekuan mereka. Menghangatkan relasi persaudaraan yang semula dingin. Calvin Wan, sosok istimewa pembawa kedamaian. Tampan wajahnya, tampan hatinya, lembut sikapnya, kharismatik auranya, pintar mendamaikan itulah dirinya.

**      

"Calvin, terima kasih...terima kasih kamu mau mendamaikan aku dan Yogi."

Entah sudah keberapa kalinya Silvi berterima kasih. Bahkan, sampai kini mereka hanya berdua di studio musik, Silvi tak bosan-bosannya mengucap terima kasih.

"Sudah, Silvi. Sudah...kalau begini terus, aku takut pahalaku berkurang. Nanti aku jadi riya'." Calvin tertawa kecil, mengacak-acak rambut Silvi.

Semuanya telah usai. Perdamaian tercipta. Allah sekali lagi menurunkan keajaiban dan kasih yang indah lewat kedua tangan Calvin. Calvin Wan yang lembut dan penyabar, akhirnya berhasil menjadi pendamai.

Sebelum pulang, Yogi terlihat menunjukkan kasih sayangnya pada Silvi. Gadis itu diberinya hadiah berupa sekotak coklat kesukaannya. Diajaknya makan siang bersama. Dijanjikannya beberapa kotak coklat lagi jika ia kembali dari penugasannya di perbatasan Malaysia.

Ini semua karena Calvin. Pria kelahiran 9 Desember itu membuka jalan perdamaian antara Silvi dan Yogi. Kelembutannya, kesabarannya, cinta kasihnya, semuanya begitu menyentuh. Silvi beruntung memiliki Calvin.

"Sarah beruntung...andai saja ada pria seperti itu yang menyatakan kecintaan karena Allah padaku." desah Silvi.

"Ada, Silvi." Calvin berujar lembut.

Sejurus kemudian ia memegang lembut dagu Silvi. Menghadapkan wajah mantan duta wisata itu ke wajahnya, menatap matanya dalam-dalam, lalu berucap setulus hati.

"Saya cinta kamu karena Allah."

Getaran hebat meguasai hati Silvi. Ya Allah, sungguh ia tak sanggup berkata apa-apa. Mengapa Calvin mengatakan hal itu padanya?

"Calvin, aku..."

"Memangnya kamu mau, dicintai pria mandul penderita kanker?" Calvin menyela halus.

"Ah, itu bukan alasan untuk menolak. Cinta dari pria infertil dan surviver kanker justru cinta yang sangat istimewa."

Calvin Wan nyaris sempurna. Andai saja ia tidak menderita kanker dan divonis mandul. Semuanya akan lebih mudah.

Kedua tangan Calvin dan Silvi bertumpu di atas grand piano. Tak sengaja tangan mereka saling bersentuhan. Getaran halus merayapi tangan Silvi. Tangan Calvin sedikit gemetar. Getaran apakah itu? Apakah getaran cinta?

Dua pasang mata bertemu. Dua hati bertemu. Sepasang mata biru bertemu sepasang mata sipit. Jawa-Belanda bertemu Tionghoa. Priyayi bertemu wibawa. Keanggunan bertemu aura kharismatik. Kebaikan bertemu ketulusan. Kekhawatiran bertemu ketenangan. Silvi Mauriska bertemu Calvin Wan.Seakan ada sesuatu yang mendorong mereka. Seakan tergerak oleh cinta, Calvin dan Silvi bermain piano dan bernyanyi bersama.

Ada cinta yang sejati

Ada sayang yang abadi

Walau kau masih memikirkannya

Aku masih berharap kau milikku

Sejauh ku melangkah

Hatiku kamu

Sejauh aku pergi

Rinduku kamu

Masihkah hatimu aku

Meski ada hati yang lain

Ada cinta yang sejati

Ada sayang yang abadi

Walau kau masih memikirkannya

Aku masih berharap kau milikkuku... (Isyana Sarasvati-Masih Berharap ost Ayat-Ayat Cinta 2).

Calvin dan Silvi bernyanyi dan bermain musik dengan sangat bagus. Perfekto. Mereka bernyanyi, tulus dan penuh cinta. Keduanya bernyanyi dengan hati.

Sayangnya, bahagia itu tak berlangsung lama. Belum sempat lagu usai. Tetiba saja, kedua tangan Calvin terhenti. Alhasil hanya Silvi yang melanjutkan permainan pianonya. Bukan hanya permainan piano, pria yang dicintainya pun berhenti bernyanyi. Calvin terbatuk. Darah segar mengalir, membiaskan kecemasan luar biasa.

Calvin yang begitu baik, tulus, lembut, dan sabar, mengapa harus sakit lagi?

**       

https://www.youtube.com/watch?v=fp0hIhv_3Oo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun