Lagi, dan lagi. Calvin menyakitiku dengan pertanyaan aneh. Ya Allah, bisakah Calvin berhenti mempertanyakan hal-hal seperti itu? Hatiku sakit, pedih luar biasa. Apakah aku seburuk itu di mata Calvin?
"Tentu saja tidak. Aku hanya lelah. Salah satu caraku melampiaskan perasaan ini adalah menyakiti orang yang kucintai." sahutku dingin.
"Mengapa harus aku?"
"Karena aku mencintaimu. Dengan sangat terpaksa, kusakiti dirimu."
Untuk pertama kalinya, kulihat Calvin meneteskan air mata. Pria belahan hatiku, suami super tampanku, menangis. Hidungnya mengalirkan darah segar.
Wajahnya pucat pasi. Ia limbung, nyaris jatuh. Hatiku tersentuh melihatnya. Namun rasa tersentuh ini tak sebanding dengan sakit di hatiku.
"Kamu tak mengerti perasaanku, Calvin."
"Aku sudah berusaha sabar, tapi......"
Tak sempat kalimat itu dilanjutkan. Tetiba saja, Calvin muntah darah. Aku tak tega melihatnya. Hatiku sangat sakit. Kucintai Calvin, kusesali perbuatanku karena telah menyakitinya. Namun hatiku terlanjur sakit. Ternyata, seburuk itukah aku di mata suamiku sendiri?
** Â Â Â Â
Bagaimana harus kulupakan semua