Bersuamikan seorang pria tampan luar-dalam adalah anugerah terindah bagiku. Mulanya, kukira aku akan berjodoh dengan Adica, adiknya Calvin. Ternyata aku malah berjodoh dengan Calvin sendiri. Masya Allah.
Pernikahanku sangat bahagia. Cinta dan kasih mengalir tulus. Kucintai Calvin sepenuh hati. Sama sekali tidak kupermasalahkan kondisinya yang infertil. Toh aku sendiri tidak peduli tentang seks dan keturunan. Bagiku, bersama Calvin saja sudah cukup. Kalaupun suatu saat nanti ingin punya anak, bisa adopsi kan?
Hatiku diselimuti kebahagiaan. Beruntungnya aku dinikahi pria setampan dan sebaik Calvin. Dia datang di saat yang tepat. Hati dan cintaku untuknya, walau belum lama setelah kedatangannya aku baru saja patah hati.
Calvin memberikan penawar racun atas tajamnya racun cinta yang kurasa. Lukaku dibasuh dengan lembut oleh tangan dinginnya. Saat mengenal dan mencintai Calvin, sesungguhnya aku telah sampai di sebuah titik. Titik dimana hatiku lelah. Lelah dilukai, dipatahkan hatinya, ditinggalkan, dan dimanfaatkan. Bahkan, jujur saja, aku lelah jadi orang baik.
Ternyata Calvin datang untuk kusakiti. Aku mencintainya, aku menginginkan kehadirannya, tapi aku pun tak nyaman dan sering kali tersakiti oleh sikapnya. Ada beberapa hal yang tidak bisa kuterima dalam sikap dan perlakuan Calvin.
Puncaknya, kusakiti Calvin. Kulukai perasaannya. Risiko dan derita Calvin: menikahi anak korban perselingkuhan. Menikahi wanita yang sebagian masa kecilnya dihiasi perselingkuhan orang tuanya. Ya, itulah aku yang sebenarnya.
Calvin sedih. Calvin tersakiti. Lagi-lagi ia mengingatkanku dengan keras. Inilah yang paling tidak kusukai. Hatiku juga sakit, bahkan lebih sakit. Calvin tak mengerti bagaimana cara mengingatkan dan memperlakukanku.
"Silvi, aku tidak mau terus-menerus disakiti." Calvin berkata lirih.
"Well, ini risiko. Kamu kira hanya kamu yang tersakiti? Aku juga! Bahkan lebih sakit darimu!" teriakku marah.
Sejurus kemudian Calvin mematikan laptopnya. Untunglah artikelnya tentang Walmartt dan Amazon sudah selesai tepat ketika konsentrasinya pecah. Ditatapnya mataku lurus-lurus.
"Inikah dirimu yang sebenarnya? Suka menyakiti orang lain?"