Clara tersenyum. Mendengarkan rekaman suara Calvin saat membacakan buku untuk Silvi. Bibir mungilnya bergerak pelan, tak tahan untuk tidak melontarkan kritikan.
"Powernya kurang...artikulasinya juga. Intonasinya kurang tepat. Makanya sebelum membacakan pada Silvi, interpretasi dulu. Baca dulu dalam hati, terus pahami isinya. Jadi, kamu bisa menyampaikannya dengan benar. Kamu belum fasih berbahasa Arab dan Turki ya?" komentar Clara.
"Iya. Maaf Clara, aku belum bisa. As you know, aku baru pertama kali membaca potongan-potongan dialog bahasa Arab dan Turki. Sorry ya..." kata Calvin meminta maaf.
"Jangan meminta maaf padaku. Minta maaflah pada Silvi. Kamu kan membacakan buku ini untuknya. Silvi terlalu baik, dia takkan mengomentari kesalahan dan kekuranganmu."
Ya, Clara benar. Gadis cantik dengan iris mata berwarna biru itu takkan mengomentari kekurangan Calvin. Bukannya takut atau tak enak, namun ia hanya menghargai Calvin.
"Aku to the point ya. Kemampuan story tellingmu masih kurang dibandingkan aku dan Sarah."
"Iya, Clara. Ini kan pengalaman pertama. Lagi pula, kamu menyamakan kemampuanku dengan orang yang pandai public speaking, pemenang kompetisi pidato Bahasa Inggris, alumni program student exchange, story teller, dan mantan anggota teater. Jelas beda jauh. Aku belum semahir itu, Clara."
"Jam terbangmu belum sebanyak Sarah."
Tersinggung? Marah? Sama sekali tidak. Calvin terbuka menerima kritikan. Tak terkecuali dari istrinya sendiri. Toh memang Clara lebih berpengalaman darinya. Tak ada alasan untuk menolak kritikan.
"Kamu tahu? Jika kisah di buku ini sedih, Sarah akan benar-benar membacakannya dengan nada dan ekspresi yang sedih. Dia menginterpretasi, memahami, lalu menyampaikannya pada Silvi. So, pesannya benar-benar sampai. Aku belajar banyak pada Sarah, how to be a good story teller."
Mendengar itu, Calvin memegang tangan Clara. Mendekatkan wajahnya ke wajah wanita itu. Menatap matanya lekat-lekat.
"Kalau begitu, bolehkah sekarang aku belajar banyak darimu?" bisik Calvin lembut.
"Sure..." jawab Clara sambil tersenyum. Membelai kedua tangan Calvin.
Entah dia tersenyum tulus pada suami super tampannya. Atau tersenyum geli karena masih teringat rekaman audio book yang dibacakan Calvin untuk Silvi. Setelah mendengarkannya satu per satu, langsung saja Clara mengomentari dan mengoreksi. Ia tidak seperti Silvi yang kelewat pandai menahan respon dan koreksinya. Silvi lebih banyak memuji, walau itu dilakukannya untuk menyenangkan hati Calvin dan menghargainya saja. Sementara Clara sama sekali tidak memuji. Hanya mengomentari dan membetulkan mana yang salah.
"Hmm...Silvi, Silvi. Kalau sama suami super tampanku, jangan terlalu lembut." desah Clara, menjentikkan jarinya. Lalu mematikan laptop.
"Well, adikmu itu baik. Paling tidak, dia tahu cara menghargai orang lain." Calvin menimpali. Lekat memperhatikan istri cantiknya dari manik matanya.
Menyimpan laptopnya di dalam softcase, Clara kembali berbaring. "Whateverlah. Yang jelas, jangan samakan aku dengan Silvi."
Belum sempat Calvin menanggapi, sesuatu terjadi. Clara mengerang kesakitan. Wajah cantiknya berubah pucat. Satu tangannya tanpa sadar mengelus perutnya yang kian membesar.
"Clara, are you ok? Kontraksi lagi ya, Sayang?" Calvin bertanya cemas.
"No...no, sepertinya bukan kontraksi lagi. Tapi..."
Darah segar mengalir di kaki Clara. Tidak, ini tidak benar. Calvin menggendong Clara, meraih kunci mobilnya, lalu bergegas menuju garasi. Tak sempat lagi membangunkan supir dan asisten rumah tangga. Keadaan sudah mendesak.
** Â Â
"Laa haula wala quwata illa billah." Calvin bergumam lirih, menggenggam tangan Clara.
Dua orang suster mendorong brankar ke ruang operasi. Tindakan medis terpaksa diambil: operasi caesar. Sebenarnya Clara enggan. Ingin merasakan proses persalinan secara normal. Namun sudah tak memungkinkan lagi.
"Aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Rasa sakitmu, rasa sakitku juga. Aku mencintaimu, Clara."
Sepasang mata sipit bening meneduhkan itu memancarkan kelembutan. Kelembutan yang menenangkan hati. Clara merasa tenang di bawah tatapan itu. Hatinya terasa dikuatkan. Ia pasti mampu melewati semua ini. Sebelum Clara masuk ruang operasi, Calvin mencium keningnya. Menggenggam tangannya erat. Menyalurkan kekuatan.
Pintu tertutup rapat. Calvin resah, Calvin gelisah. Blogger, peragawan, dan petinggi perusahaan super tampan itu tak dapat menahan kecemasannya. Dalam hati ia terus berdoa. Meski janin di rahim Clara bukan anak kandungnya, meski bukan darah dagingnya, ia telah berjanji untuk mencintai anak itu sepenuh hati. Merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih. Maka, Calvin pun mendoakan kelahiran anak itu dengan selamat dan sehat.
Beberapa orang berlarian di koridor ruang operasi. Mereka menghampiri Calvin, beberapa di antaranya langsung menjatuhkan diri di kursi. Panik dan kelelahan.
"Calvin, mendadak sekali." Silvi terengah, merapikan rambutnya.
"Iya. Itu pula yang ingin kutanyakan. Bbukankah prediksinya seminggu lagi?" tukas Sarah penasaran.
"Entahlah. Rencana Allah lebih cepat dibanding prediksi dokter." jawab Calvin diplomatis.
Silvi meliriknya dari ekor mata. Seperti biasa, selalu begitu. Lama mengenal Calvin, Silvi paham banyak hal tentangnya. Calvin menangkap lirikan mata Silvi. Perasaannya tak menentu. Seperti ada sepasang mata lain tak kelihatan yang mengerlingnya.
"Mengapa harus caesar? Memangnya Clara tak cukup kuat untuk melahirkan secara normal?" Anton melontarkan pertanyaan, memuaskan rasa ingin tahunya.
"Ya. Kata dokter begitu."
Albert menimpali. "Doakan saja Clara dan anak kalian. Semoga mereka baik-baik saja."
Perkataan bijak sang calon Romo berdarah campuran Jawa-Jerman-Skotlandia diamini mereka berempat. Kali ini, Silvi beralih menatap Albert. Anak kalian? Rupanya Albert sudah ikhlas. Ikhlas seikhlas-ikhlasnya menyerahkan hasil dari benih keturunannya pada Calvin Wan. Sebenarnya, siapakah pria berhati seluas samudera? Albert ataukah Calvin?
Sama seperti Silvi, Calvin menatap Albert. Ada pancaran rasa terima kasih dalam tatapannya. Pria berdarah Tionghoa itu tak mampu merangkai kata indah, tapi ekspresi dan body languagenya bicara lebih akurat. Albert membalas tatapan Calvin. Menegaskan tanpa kata bahwa ia tak perlu berterima kasih.
Kontak mata antara Albert dan Calvin hanya mampu dipahami Silvi. Sebab hanya Silvi yang tahu, benih siapa yang tertanam di rahim Clara. Baik Anton maupun Sarah sama sekali tak tahu apa-apa.
Jam demi jam berlalu menegangkan. Sampai akhirnya, operasi selesai. Dokter keluar membawa kabar gembira. Rasa syukur mengalir seketika. Membayar lunas ketegangan dan kecemasan yang ada.
Bayi cantik itu terlahir sehat. Kulitnya putih, wajahnya sangat cantik. Mirip Clara waktu kecil. Begitu gemasnya mereka sampai-sampai berebutan ingin menggendongnya.
Ketika semua orang sibuk memotret dan mencubiti pipi bayi cantik itu, Calvin memeluk Clara. Menciumi pipi istrinya. Membisikkan ucapan selamat karena telah melewati proses ini.
"Kamu wanita hebat, Clara." puji Calvin tulus.
"Ini semua karena doamu, Calvin." Raut wajah Clara melembut ketika mengatakannya.
"Terima kasih telah melahirkan anak yang sangat cantik. Insya Allah dia akan jadi anak baik."
Mata Clara berkaca-kaca. Wanita priyayi berdarah campuran Jawa-Belanda itu sangat jarang menangis. Percayalah, air matanya hari ini adalah air mata kebahagiaan.
"Anak cantik itu anakmu juga, Calvin." bisik Clara.
Perlahan Calvin mengalihkan pandang. Dilihatnya Albert tengah menggendong bayi cantik itu. Mengusap-usap kepalanya. Membisikkan sesuatu. Hati Calvin terasa perih. Realitanya, bayi cantik itu darah daging Albert. Sama sekali tak ada darah Calvin mengalir di tubuhnya. Mana mungkin pria infertil pengidap Sindroma Hughes seperti dirinya mampu memiliki keturunan? Teringat pahitnya kenyataan, hati Calvin makin sakit.
Sesaat kemudian Albert menyerahkan bayi cantik itu ke tangan Calvin. Dengan lembut, Calvin menggendongnya. Memperlakukannya dengan penuh kasih. Sekarang ia telah menjadi seorang ayah. Ayah tiri dari anak perempuan berparas jelita. Bagaimana bila kelak anak itu tahu siapa ayah kandungnya? Mendapati ayah kandungnya ternyata seorang rohaniwan Katolik yang hidup selibat, pastilah anak itu akan terpukul sekali.
"Jagalah dia. Cintai dia. Besarkan dia dengan cinta dan kasih. Aku percaya, kamu bisa melakukannya." pinta Albert.
"Aku akan berusaha yang terbaik. Terima kasih, Albert." janji Calvin.
Bukan Calvin Wan namanya bila inkonsisten. Dia akan memegang janjinya. Apa pun yang terjadi.
Meski demikian, tak dapat diingkari rasa sakit menyusup di hati. Calvin sakit dan terluka melihat wajah bayi cantik dalam gendongannya. Andai saja bayi cantik ini darah dagingnya. Andai saja ia mampu memiliki keturunan. Andai saja penyakit itu tak pernah menggerogoti tubuhnya. Ia takkan perlu meminta seorang calon Pastor untuk memberikan benihnya yang terbaik.
Hati Calvin teriris kesedihan. Ia sangat tampan, sangat kaya, punya segalanya. Hanya satu yang tak ia miliki: keturunan. Calvin tak berdaya, sungguh tak berdaya.
** Â Â Â
Aku bukan aku yang dulu
Namun cintaku seperti dulu
Merelakanmu aku merasa
Bagai bulan dikekang malam (Rossa-Bulan Dikekang Malam ost Ayat-Ayat Cinta 2).
** Â Â Â
Pria tampan berwajah oriental itu menatap darahnya sendiri. Mengusap sisa darah dari hidungnya. Memandangi refleksi bayangannya di cermin, berharap tak ada lagi darah yang tersisa.
"Kamu bisa bersembunyi dari Clara, tapi dariku tidak."
Diiringi langkah sepatu, sesosok gadis cantik bergaun soft pink mendatanginya. Mata birunya menatap Calvin penuh arti.
"Kamu pasti sedih kan? Mencintai dan membesarkan anak dari hasil donor sperma...pasti tak pernah terpikirkan olehmu."
Seolah Silvi membaca pikirannya. Seperti biasa, ini salah satu kemampuannya.
"Aku mengerti perasaanmu, Calvin. Memang tak ada yang sempurna di dunia ini." desah Silvi.
"Kesehatanku dan diriku sendiri, tak lagi sempurna. Tapi cintaku tetaplah sempurna."
"Cinta pada siapa? Cinta pada Clara atau pada anak itu?"
Ini pertanyaan menjebak. Sangat sulit. Tak boleh gegabah.
"Aku tidak menaruh ekspektasi apa-apa. Hanya saja, aku sedih karena dia bukan anakku."
Sindroma Hughes dan vonis mandul itu, mengubah segalanya.
"I see. Akankah kamu tetap mencintai dan merawat anak itu sepenuh hati? Seperti janjimu?" Silvi bertanya lembut.
"Iya. Aku sudah berjanji. Akan kulakukan." ujar Calvin yakin.
Tatapan lembut itu, wajah tulus itu, menggugah hati Silvi. Hatinya sakit. Andai saja Calvin belahan jiwanya, tentu ia akan merasa sangat bersyukur. Sayangnya, Calvin tidak ditakdirkan untuknya. Pria ini begitu baik, begitu sabar, begitu istimewa. Clara beruntung memilikinya. Silvi hanya bisa mendoakan kebahagiaan mereka. Seraya memendam rasa sakit dan serpihan hati yang telah hancur.
"Silvi, are you allright? Apa ada yang salah?" Calvin mengulurkan tangan, berusaha menyentuh bahu adik iparnya.
"Nothing. Aku mau kembali ke kamar Clara." jawab Silvi lirih, menghindari pandangan Calvin.
Sejurus kemudian, Silvi berjalan cepat meninggalkan Calvin. Jangan sampai ada yang melihat kristal bening terjatuh dari pelupuk matanya.
** Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=Yol5SlQQzv0
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H